11 Mar 2017

Rokok: Kementrian Keuangan Menjaga Keseimbangan Benturan Kepentingan

KARENA MICHAEL BLOOMBERG TIDAK MEMERANGI MIRAS

Oleh: Sunaryo Kartodiwiryo*


Para petani, usahawan, perokok, bahkan para cendikia pemerhati rokok sering bertanya,”Kenapa Minuman Keras (Miras) yang lebih berbahaya dari aspek kesehatan tidak diperangi oleh para penggiat di bidang kesehatan?” Apakah karena sudah jelas ada fatwa haram? Karenanya tak perlu aliansi internasional untuk memeranginya? Jika demikian jawabannya bukankah rokok juga diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ataupun Muhammadiyah? Lalu kenapa ada aliansi internasional untuk memerangi rokok? Apa karena di luar negeri rokoknya putih di indonesia rokok kretek? Banyak pertanyaan yang tak terjawab jika mengkomparasi rokok dengan miras. Bingung menjawabnya sebagian diantara mereka berseloroh,”Karena Michael Blooberg tidak memerangi Miras!

Tak usah geram dengan jawaban eufimistis di atas. Sebagaimana selalu saja muncul tuduhan Industrial Conspiration dari pihak anti rokok terhadap siapapun yang sekedar berpikir proporsionnal melihat kontribusi industri rokok di Indonesia.  Mereka diposisikan selalu memiliki kepentingan di sana. Kalau tidak mendapatkan untung, minimal mereka perokok. Jadi biarkanlah masing-masing berpijak di posisinya. Sarkastis ataupun eufimistis tak bisa dihindarkan dikala da benturan kepentingan menyangkut hajat hidup banyak orang.

Kementrian Keuangan adalah isntitusi yang berada ditengah dua benturan kepentingan baik yang pro dan kontra terhadap rokok. Perannya dalam membuat policy selalu dipenuhi masukan khususnya kala tarif cukai dalam pe-nggodog-an. Viral rokok melalui media massa menjadi Rp50.000 per kemasan adalah satu misi mempengaruhi opini publik agar Kementrian Keuangan tak terlalu rendah dalam mengeluarkan kebijakan. Meski untuk  kali ini metode yang dipakai sangat kreatif.  Ada semacam “Cyber Army” yang bekerja systemic untuk menggelindingkan bola salju opini dari survei yang sangat-sangat sederhana.  Bentuknya dengan pemaparan foto label harga di berbagai mini market yang jelas-jelas dibantah dari pengelola ritel.

Survei itu sangat-sangat sederhana karena tak ada penggeneralisiran kesimpulannya secara nasional melalui estimasi oleh peneliti. Ini wajar saja karena pengambilan samplenya juga purposive sampling yang memang secara metodolgi “haram” menggeneralisasi. Media sosial-lah sang  penggenaralisasi yaitu dengan mengkanalisasi pendapat yang pro dan kontra. Dari samplenya saja coverage-nya tidak representatif karena hanya 1000 orang  sementara jumlah penduduk Indonesia 260 juta orang. Jika dipersentase coverage sample hanya 38 mikro persen dari populasi.

Langkah taktis pembentukan opini penggerak anti tembakau dimulai kembali kala Presiden Joko Widodo menolak usulan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Usulan yang semula dapat mencapai tujuan  tiba-tiba membentur tembok besar dengan pernyataan sederhana Presiden,”Jangan ikut-ikutan negara lain” dan “Memperhatikan kepentingan nasional” menjadi pedoman untuk menangani industri ini.

Urusan memperhatikan kepentingan nasional terkait rokok sebenarnya telah dirintis sejak tahun 2007. Di saat yang sama Menteri Keuangan juga Sri Mulyani. Saat itu Triger-nya kemenkeu mengusulkan perubahan sistem tarif cukai spesifik (rupiah per batang) dari sebelumnya advalorum (persentase kali harga eceran). Banyak pihak yang berkeberatan dengan sistem ini karena terdapat konsekuensi akan merubah persaingan di masing masing strata pabrik. Penolakan juga datang dari pabrik khususnya yang telah memiliki branding di pasaran. Karena dengan keuatan brand-nya beban kenaikan harga eceran dapat langsung di alihkan ke konsumen sepenuhnya. Produk mereka sensifitas harganya rendah. Ini yang tidak bisa dilakukan pabrik kecil. Terlebih harga di pasaran saat itu sudah 50% dibawah harga banderol pita cukai.

Pada akhirnya Menteri Keuangan tetep bersikukuh dengan sistem spesifik namun demikian meminta Kementrian Perindustrian membuat Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) kedepan. Kemudian bersinergi Kementrian kala itu menyusun Roadmap IHT tahun 2007-2020. Kementrian Keuangan, Perindustrian, Pertanian, Tenaga Kerja, dan tentunya Kesehatan. Konsekuensinya kebijakan tarif cukai rokok mengacu Roadmap IHT. Terdapat tiga komponen utama dalam Roadmap IHT yaitu penerimaan, tenaga kerja, dan kesehatan yang prioritasnya disesuaikan masing masing tahapan. Periode jangka pendek tahun 2007-2010 memprioritaskan penerimaan, tenaga kerja, dan kesehatan. Periode jangka menengah tahun 2010-2015 menjadikan tenaga Kerja sebagai prioritas, disusul kesehatan, dan penerimaan, Periode jangka panjang 2015-2020 sudah menomor satukan kesehatan disusul tenaga kerja dan penerimaan.

Dari masing masing besaran pokok tersebut dielaborasi atara lain dalam rangka penerimaan meliputi menciptakan insdustri sehat, mendorong harga rokok riil (tidak lebih rendah dari harga banderol), mengurangi rokok ilegal, dan mendorong penyederhanaan strata. Implementasi dari hal tersebut Kementrian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan law enforcement. Pabrik banyak ditutup karena tidak memenuhi syarat atau tidak aktif selama satu tahun. Pemantauan peredaran rokok di pasaran diawasi dengan menerapkan personalisasi (pengkodean nama pabrik) pita cukai.   Upaya penyederhanaan secara gradual struktur tarif cukai dengan cara pengurangan layer. Untuk sigaret mesin dan tangan tahun 2007 masih 19 layer tarif cukai sedangkan 2016 menjadi 12 layer saja. Efek penyederhanaan struktur tarif berdampak kenaikan tarif cukai hingga 75%-80% di layer tarif tertentu.

Dari aspek tenaga kerja diwujudkan dengan memberi ruang pada sigaret yang dikerjakan dengan tangan atau bisa disingkat Sigaret Kretek Tangan (SKT). Adanya disparitas tarif cukai ini mengingat SKT diproduksi turun menurun dari generasi ke generasi seperti di Jepara, Kudus, dan Kebumen untuk Jawa Tengah. Di Jawa timur di Kediri, Malang, dan Pasuruan. Disamping memberi gap besaran tarif secara keseluruhan dengan sigaret mesin, juga dibuatkan layer khusus untuk golongan sangat kecil atau bisa disebut golongan IIIB. Tahun lalu layer ini tidak dinaikan sama sekali demi melindungi ratusan ribu tenaga kerja. Kebijakna ini ampuh terbukti dari media cetak tahun 2016 tidak satupun terdapat pemuatan PHK industri rokok.

Aspek kesehatan adalah aspek yang perlu waktu diseragamkan antara berbagai kementrian. Terkadang ironi melihat tuntutan Kementrian Kesehatan menambah PHW (Picturial Health Warning) melebihi 40% di bungkus rokok. Terlebih jika melihat Swiss dimana WHO (World Health Organisation) bermukim  ternyata rokok ekspor asal Indonesia tak menggunakan PHW.    Apakah pernah menkritik situasi ini ke WHO atas masalah ini. Yang ironi para penggiat anti rokok selalu merasa rendah dengan negara lain. Dan faktor penyebanya hanya urusan formalitas ratifikasi FCTC ketimbang materi FCTC itu sendiri. Terlihat over interpretation atau over implementation article FCTC dengan menyederhanakan persoalan rokok di indonesia.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Misalnya klaim sepihak penggunaan dana kesehatan untuk menanggulangi bahaya rokok adalah tiga kali nilai cukai rokok . Ini berarti setara Rp500 triliun. Metodologinya, periodenya, dan tempat penelitiannya perlu di-publish agar publik dapat menilai. Perlu sikap egaliter masing masing kementrian untuk membahas kepentingan nasional di sektor ini. Satu cara egaliter dalam membahasnya adalah kesediaan duduk bersama dan membuka data bersama. Menjadi tak elok menolak hanya lantaran satu article FCTC yang “meng-haram-kan” bicara dengan industri rokok. Sebagai bangsa yang besar sangat perlu punya posisi atas sektor ini dalam percaturan global.

Roadmap IHT periode 2007-2020 adalah upaya maksimal menyatukan sekian persepsi kementrian dalam menangani rokok. Langkah Presiden Jokowi agar mengkaji kembali permasalahan ini perlu diapresiasi. Tentu karena banyak persoalan yang signifikan yang harus ditangani secara hati-hati. Dan untuk Indonesia, Presiden turun tangan menangani persoalan rokok ternyata bukan pertama kali. Presiden Soekarno tahun 1946 melalui UU Nomor 21 Tahun 1946 Tentang Cukai Tembakau yang mengatakan dalam satu konsideranya,”percentage cukai tembakau dirasakan amat tinggi dan memberatkan kepada rakyat”. Kemudian memutuskan dalam pasalnya yaitu,” Menurunkan Cukai Tembakau”.  Catatan Ini menyimpulkan bahwa rokok bagi Indonesia rokok hingga saat ini belum berubah “statusnya” sejak 1946. Yang jelas pada tahun 1946 Michael Bloomberg tak mungkin protes apalagi mengucurkan dana untuk memprotes. Maklum tahun 1946 Bloomberg berusia 4 tahun karena Lahir 14 February 1942.
***



7 Jun 2016

  • MENJAUHKAN STIGMA CUKAI DARI PAJAK DOSA
  • Oleh Sunaryo*



Bahwa pungutan cukai identik dengan pajak “dosa” atau sin tax memang tertulis dalam literatur cukai. Karena adanya  eksternalitas (externalities) barang yang dikenakan cukai, pungutan ini dilabeli sin tax. Perlu fiscal tools untuk mengendalikan konsumsi barang dimaksud agar tidak berlebihan.
Label sin tax ini juga menjadi faktor utama yang menghambat usulan penambahan objek cukai baru. Memang jika dikenakan tambahan beban tarif 5%-10%, pengusaha akan keberatan. Tetapi, lebih berat lagi jika produknya terkena label “pajak dosa”. Mereka khawatir disamakan perlakuannya dengan barang kena cukai saat ini, seperti minuman keras.
Di berbagai negara, jenis barang kena cukai sangat variatif dan jumlahnya relatif banyak. Indonesia pernah mengenakan cukai atas bahan bakar minyak (minyak tanah) dan juga gula. Pada UU No. 11 Tahun 1995, kedua pungutan cukai tersebut dicabut. Alasannya, gula sangat dibutuhkan dalam pengembangan industri pengolahan makanan dan minuman, sementara pasokan dalam negeri kurang.
Yang menarik, setelah lama cukai BBM dihapus, tiba tiba muncul gagasan pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) dari Kementerian ESDM. Alasannya paralel dengan filosofis cukai, yakni perlu pengendalian BBM untuk pengembangan energi terbarukan.
Mengenakan dan melepaskan pungutan cukai sebenarnya tidak tabu di beberapa nagara. Per 1 Januari 2015. Hungaria mengenakan cukai atas makanan ringan (snack tax). Azerbaijan mengenakan pungutan cukai platinum, emas, dan permata. Sementara itu,  Thailand tiga tahun lalu melepaskan pungutan cukai Spa untuk kembali menarik wisatawan. 
Di Finlandia minuman berkarbonasi, susu, margarin, permadani, arloji, tiket pesawat, bahkan asuransi dan travel dikenakan cukai. Prancis mengenakan cukai atas minuman berkarbonasi, kopi, gula, kosmetik, parfum, dan asuransi. Jepang memungut cukai atas minuman berkarbonasi, biji coklat, gula, dan juga permadani. Singapura memungut cukai atas gula, televisi, radio, listrik, gas, air, telepon, serta rekening hotel.

Barang-barang di atas sangat jauh dari sifat barang kena cukai yang kita kenakan, yakni jauh dari kesan pungutan sebagai pajak dosa. Semua pihak, baik ekonom, pelaku usaha, dan semua yang berkepentingan, harus membuka mata atas paradigma ini. Kejadian atas gagalnya pungutan cukai minuman berkarbonasi akibat sinergi antar kementrian di atas tidak berjalan. Barang yang sudah menjadi target untuk dikendalikan berdasarkan program Sustainable Development Goals (SDGs) ditolak oleh kementerian yang secara tugas dan fungsi seharusnya mendukung program SDGs.

Sinergi kementerian
Kita selalu saja menyoroti beban pungutan ketika pungutan cukai atas suatu barang direkomendasikan. Padahal cukai tidak semata-mata membahas itu. Terdapat pengaturan fasilitas pembebasan dan tidak dipungut cukai. Para pengamat sering melupakan bahwa cukai juga juga instrumen fiskal. Menteri Keuangan berwenang penuh mengatur seluas luasnya sesuai Pasal 8 dan Pasal 9 UU 39 Tahun 2007. Jika plastik kemasan minuman disetujui dikenakan cukai dalam APBN-P 2016, akan banyak relaksasi regulasi fiskal yang berbeda dengan rokok atau minuman keras.
Aspek lainnya yang menguntungkan pengusaha juga perlu dipertimbangkan. Hanya cukai instrumen fiskal yang secara komprehensif dapat mengontrol dari hulu hingga hilir. Bagi pengusaha, terdapat manfaat karena mengurangi kemungkinan pemalsuan produk. Pengawasannya juga secara aktif tanpa harus menunggu laporan pemilik produk.
Melihat berbagai aspek di atas menjadi semakin jelas bahwa pengenaan cukai tidak selalu equal sebagai pajak dosa. Oleh karenanya menjadi ironi jika sebagian suatu barang di sebagian besar negara lain dikenakan, kenapa kita mempertentangkan? Semua kementerian perlu duduk bersama bersinergi terkait ekstensifikasi cukai. Janganlah penolakan dari sebuah kementerian menjadi semacam semacam “hak veto” atas usulan ekstensifikasi cukai.

Benar akan ada kontraksi ekonomi jika pungutan cukai baru atas suatu barang dikenakan. Inflasi juga terpengaruh karena adanya tambahan beban di biaya perusahaan yang akan sampai ke konsumen. Tapi, seberapa besar  dampaknya tentu bisa dihitung bersama agar target inflasi APBN tak terlampaui. Tak ada kesulitan dalam hal ini kecuali memang semua usulan ekstensifikasi cukai dikondisikan tidak berjalan.

***

      *Penulis adalah Kasubdit Tarif Cukai Bea Cukai



21 Jan 2016

Dana Ketahanan Energi dan Infrastruktur Cukai

Oleh: Sunaryo*


Harian KONTAN 18 Januari 2016
Pro kontra pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) mewarnai media di akhir tahun 2015. Dasarnya adalah pasal 30 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2014 sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 30/2007. Meski akhirnya diputuskan ditunda oleh pemerintah, wacana DKE masih menyisakan perdebatan dasar hukumnya. Apa “wadah” yang lebih tepat dari pungutan DKE?
Untuk mengarahkan “wadah” yang paling tepat,pertama harus dilihat tujuan pungutan itu sendiri, yaitu untuk membangun prasarana energi baru dan terbarukan. Ada share beban dari konsumen BBM terhadap pengelolaan infrastruktur produksi BBM. Ini tertuang dalam Pasal 48 dan 49 UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang dikategorikan sebagai Pungutan Penerimaan Bukan Pajak (PNBP). Oleh karenanya, jika ada pungutan tambahan yang dibebankan pada konsumen BBM, akan terjadi dualisme pungutan dengan tujuan yang sama. Ini melanggar prinsip pungutan negara secara umum (semacam double taxation).
Mekanisme paling tepat untuk membiayai infrastruktur energi baru dan terbarukan adalah mekanisme earmarking. Contohnya adalah Pajak Kendaraan Bermotor yang 10% wajib dialokasikan untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana transportasi umum. Begitu pula pungutan Pajak Rokok yang 50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.
Apakah DKE ini perlu dimasukan dalam UU No 30/2007 tentang Energi? Sepertinya sangat perlu penafsiran yang lebih untuk memungut DKE. Sebab, UU tersebut tidak eksplisit tertulis menambah pungutan baru. Hal yang sala juga jika menggunakan Pasal 30 PP No 79/2014.
Melihat tujuan pungutan dan tahapan yang diperlukan untuk merealisasikan DKE, “wadah” paling tepat yaitu cukai. Pertama, dari aspek filosofis, BBM termasuk barang yang perlu dikendalikan konsumsinya. Pengendalian konsumsi adalah salah satu “roh” pungutan cukai. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, bahkan India, pungutan cukai BBM (gasoline/fuel tax) lazim dikenakan. Bahkan dari literature cukai, BBM dikenakan cukai satu keniscayaan. Karenanya,best practice pungutan cukai sudah tidak perlu dicari reasoning-nya.
Resistensi pungutan
Dari segi perangkat teknis hukum, pungutan cukai BBM relatif paling lengkap dibandingkan regulasi lainnya untuk DKE. Penetapan objeknya cukup menggunakan Peraturan Pemerintah. Hal ini secara tegas tertulis dalam Pasal 2 UU No. 11 Th. 2007. Penambahan atau pengurangan jenisBarang Kena Cukai diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Apakah pungutan cukai ini tidak akan mengurangi tujuan pemerintah mengurangi tujuan pemerintah meringankan beban masyarakat? Jawabannya tentu tidak. Terdapat fleksibilitas pungutan cukai, yakni bisa dibebaskan sesuai tujuan konsumsinya. Menteri Keuangan sangat fleksibel menetapkan. Saat ini yang telah berjalan dan menyerupai DKE yakni pungutan etil alkohol (etanol). Etanol dalam praktik pungutan cukai lebih banyak untuk industri (pembebasan etil alkohol).
Karenanya jika kendaraan angkutan umum dibebaskan pungutan BBM ini sangat memungkinkan. Demikian juga untuk kepentingan industri lainnya. Bahkan untuk masyarakat miskin pun,Menteri Keuangan bisa saja membebaskannya. Dengan jalur distribusi BBM dari hulu ke hilir yang sudah tertata, pemberian fasilitas pembebasan cukai bisa dikontrol.
Satu tantangan yang harus diselesaikan adalah kepentingan politis BBM yang menjadi ramah legislatif. Di sektor BBM, kendala politis lebih menyulitkan dari kendala teknis. Selama ini, rencana kenaikan harga BBM begitu menyita energi luar biasa. Hampir semua alasan dikerahkan para politikus untuk tidak setuju. Situasi saat harga minyak mentah dunia sedang turun (Per 8 Januari 2016 hanya US$ 33,55 per barel) akan mengurangi resistensi pungutan cukai BBM.
Pada akhirnya semua tergantung political will baik eksekutif maupun legislatif. Secara teoritis, sebenarnya sangat memungkinkan DKE dialihkan ke pungutan cukai. Secara practice, praktik ini sudah tersedia perangkat hukumnya, secara best practice juga telah dijalankan di negara-negara maju. Secara ekonomi global juga sangat memungkinkan dijalankan. Tinggal bagaimana menjinakkan para penentang kebijakan.
***

20 Dec 2015

Bea Cukai Jangan Terlalu NJAWANI


BEA CUKAI JANGAN TERLALU “NJAWANI”
Oleh: Sunaryo*


               
Kalaupun saya membahas tentang karakter yang menonjol sebuah suku di Indonesia, yang dalam hal ini adalah Suku Jawa,  tak bermaksud mengunggulkan yang satu untuk kemudian mengerdilkan yang lainnya. Haram bagi saya menilai baik buruk hanya melihat dari mana dia “terlahir”.  Kata “terlahir” inilah cara mudah menyimpulkan bahwa setiap manusia tidak punya pilihan kala pertama kali menghirup nafas di bumi. Sudah Given Katanya. Kiranya punya pilihan barangkali tidak ada varians warna kulit, bentuk rambut, bentuk hidung, dan bentuk bibir. Bagi yang mengidolakan Rani Mukhrejee tentu memilih terlahir dari rahim orang tua berkebangsaan India, Arab, atau Pakistan. Bagi mereka yang mengidolakan Nicolas Cage tentu berharap terlahir dari orang tua asal Eropa. Meski untuk bisa mendapatkan mata biru-nya, berharap terdapat “kontaminasi  gen dari orang Eropa timur yang rata-rata biru warna matanya. Bagi yang mengidolakan Wong Fei Hung (Yang benrama islamnya Fais Husein Wong) berharap dilahirkan oleh orang Tionghoa, Jepang, ataupun Korea.
Pertanyaannya kenapa ndak dipaparkan bagaimana yang berharap terlahir dengan kecantikannya seperti Ratu Kalinyamat atau Raden Ayu Diyah pitaloka (Putri Prabu Linggabuana dari Padjajaran dan tentu yang bukan anggota DPR-RI). Bukan lantaran saya tidak pernah melihat videonya atau lukisannya. Ini tidak dilakukan lebih karena takut tulisan penuh dengan thema seperti itu.
                Satu karakter suku jawa yang menonjol adalah dari aspek linguistik. Bahasa jawa diketahui memiliki frekuensi yang cenderung sedikit yang terlihat dari tempo bicaranya cenderung lambat. Karenanya bahasanya tak cocok digunakan untuk memarahi orang yang membutuhkan kalimat yang cepat dan berulang kali. Kemudian dari aspek amplitudo juga cenderung rendah. Ini bisa ditandai dengan intonasi dialek jawa cenderung datar dan tidak terlalu ekstrim. Untuk membedakannya Anda bisa membandingkan dengan Bahasa India atau Arab yang cenderung cepat frekuensinya dan besar Amplitudonya.
                Sebegitu unik karakter Bahasa Jawa hingga kalau dipakai untuk dubbing film-film Holywood,  menjadikan alur film tersebut “berubah”. Bagaimana tidak berubah, wong, saat adegan bedebat yang seharusnya ekspresi aktor dan aktris tegang, sementara bahasanya ber-intonasi rendah dan ber-frekuensinya lambat. Film dengan thema kekerasan sekalipun,  ketika di-dubbing dengan Bahasa Jawa akan menjadi tak elok. Karenanya alangkah indahnya, seandainya bahasa Jawa di-jadikan bahasa internasional. Ini akan akan menjadi “instrumen” perdamaian yang mujarab (berandai tentu tak apalah).
Sebegitu uniknya Bahasa Jawa, bahkan-konon sekiranya film-film “Blue” menggunakan Dubbing Bahasa Jawa akan menjadi “tawar” ke-“blue”-annya. Bagaimana tidak? Apa jadinya jika kata “oh Yes” dan “oh No” diganti dengan kata “oh Nggih” dan “oh Mboten”. Apa ndak aneh? Apa perlu frekuensi pengucapan dua kata itu dipercepat biar selaras dengan suasananya? Bukannya tambah “saru” sebaliknya malah tambah “lucu” (jangan dipraktikan menonton nanti saya berdosa karenanya).
Sifat Njawani Bea Cukai dalam konteks santun dan sopan sebagaimana Bahasa Jawa, sangat “kentara” kala menghadapi hal-hal yang terkait dengan remunerasi. Dulu, kala reformasi digelindingkan terdapat beberapa pilar yang diajukan: Organisasi, SDM, Sisdur, dan Remunerasi. Untuk meng-goal-kan remunerasi langkah yang pertama dilakukan adalah membuat grading masing-masing Jabatan. Bahkan sampai level staf di masing-masing unit. Piagam kontrak kinerja diberikan sebagai target kinerja tahunan. Namun demikian belum sampai selesai program itu dilakukan, proyek remunerasi tersebut telah diimplementasikan pada eseleon satu lain. Menanggapi hal ini jajaran Bea Cukai berkomentar bijak,”Ndak apa-apa program kita diimplementasikan ditempat lain. Sama sama Kemenkeu
                Lebih diperjelas lagi sifat Njawani Bea dan Cukai terkait dengan insentif cukai. Jujur saja saya sebenarnya enggan membicarakan masalah ini. Barangkali karena sudah terlalu lama dibicarakan sejak 2008. Meski pasal yang menjadi dasar sudah sangat jelas dalam UU Nomor 39 Tahun 2007. Jalan menuju terselesainya tata laksana lika-likunya luar biasa. Alhamdulillah sempat cair di tahun 2015. Karena kalau sampai belum terealisasikan, bisa jadi ada satu pasal di UU nomor 39 tahun 2007 yang bakal tak terlaksanakan sampai UU tersebut diamandemen lagi. Yang lebih spesial lagi jika hal itu bukanlah hal yang terlalu dipermasalahkan oleh aparat fungsional pemeriksa. Apa karena tak jelas makna pasalnya atau barangkali terkait letak pasalnya yang terlalu terakhir atau bisa jadi tulisannya. Sampai ada yang berseloroh mengomentari masalah ini,”Jangan jangan ketika membaca ketentuan tentang insentif cukai dalam buku undang undang cukai, tulisanya tiba tiba menjadi putih semua sehingga tidak kebaca.” lho siapa tahu. Karena setahu saya pada buku undang undang cukai kompilasi hanya ada dua warna: warna hitam yang tak berubah dan warna biru yang di amandemen. Setahu saya tak ada satu pasal pun tulisannya berwarna putih. (meski yakin konteksnya bercanda, saya hanya mengambil deskripsi bagaimana suasana dati menunggu dan mengharap)
Apalagi selama periode terakhir ini temuan aparat fungsional di bidang ini luar biasa. Dan sangat detail materinya. Sudah beruntun sifatnya dan massif skalanya. Aparat fungsional pemeriksa “Bertubi-tubi-tubi-tubi” (lebay saya kelihatan disini karena geregetan) adalah hal yang terkait tanda lunas cukai. Sekiranya ada satu solusi yang direkomendasikan dan itu menyelesaikan, bahkan kiranya “bumi berguncang” akan dijalankan. (lebay kedua saya kelihatan karena keputus-asaan) Bahkan sekiranya ada satu instansi yang berani dan bersedia menangani ini, maka kalau boleh meminjam ungkapan senior saya,”Permohonan diajukan sekarang, kemarin telah kami setujui dan ditandatangani“ (lebay saya yang terakhir pasti karena beban).
                Maaf, bukan dalam konteks memandang sikap Njawani dalam persoalan yang saya tulis dia atas itu sebuah cela atau kekurangan. Kebetulan persoalannya yang disikapi berdampak pada internal Bea Cukai yang dengan sifat semi-militernya masih bisa ditanggulangi. Tak ada kata lain selain kata “Siap” kala diperintah dan diputuskan. Akan menjadi persoalan ketika itu tidak diubah dalam menghadapi per-“politik”-an birokrasi. Perebutan kewenangan misalnya. (Masih ingat theori “anak nakal” yang saya tulis di tulisan sebelum ini)
                Yang paling mutakhir adalah terkait kewenangan patroli laut. Adanya Badan Keamanan Laut (BAKMLA) adalah contoh. Benar bahwa,-mengambil kata Presiden jokowi,”Kita telah terlalu lama memunggungi Laut” Perlu upaya yang sistemik agal maritim kita berjaya. Hanya format pelaksanaannya jangan sampai menggilas praktik-praktik yang sudah berjalan. Terlebih praktik itu telah terlegitimasi konvensi internasional. Satu permasalahan yang sedang menjadi tarik ulur adalah kewenangan patroli laut yang mana BAKAMLA akan mengkoordinasikan seluruh instansinya. Perlu detail mekanisme kewenangan dan SOP bagaimana menangani seluruh aktifitas di laut dimana ada puluhan undang-undang yang dijalankan berbagai instansi Kementrian. Jangan sampai prinsip dasar yang telah berjalan dan disepakati seluruh negara (UNCLOS) dimana Hanya Customs, Imigrasi, dan Karantina yang berhak menaiki kapal bendera asing yang memasuki wilayah suatu negara, menjadi ter-abai karena menjalankan undang undang yang sebenarnya berniat baik.
                Santun dan sopan (Njawani) tentu harus diterapkan dalam berdiplomasi ditengah perpolitikan birokrasi. Hanya ketika menyangkut hal yang prinsip teknis terkait kewenangan Bea dan cukai dan melalui pengalaman Bea Cukai yang panjang telah dapat memperkirakan adanya kecenderungan lebih mengedepankan egosentris institusi atau juga menjauh dari “kelaziman internasional”, maka perlu disampaikan secara lugas dan cerdas. Saya tak akan mengambil analog bahasa agama,”Qoola Haqqu Walau Kaana Murran” atau meski pahit tetap katakan!. Karena jika itu yang dipakai kaitannya syurga dan neraka kalau di qiyas-kan tetaplah bisa. Saya hanya menyarankan ada masanya menggunakan cara “Batak yang lugas dan jelas. Ada caranya menggunakan Bahasa “Padang” atau “Atjeh” yang irit kata tapi jelas.  Atau kalau sudah yakin benar tapi tetep dipaksa mengurangi kewenangan yang telah ada, pakai saja gaya Bawor Banyumasan,”Rika adol enyong sing tuku
***
Jakarta, 20 Desember 2015

7 Dec 2015

BUKAN DJBC GABUNG KE DJP MELAINKAN DJP-LAH BERGABUNG KE DJBC


BUKAN DJBC GABUNG KE DJP
MELAINKAN DJP-LAH BERGABUNG KE DJBC
Oleh: Sunaryo


Dalam catatan sejarah per-cukai-an, selama kurun 2004-2014 hanya sekali target cukai tak tercapai yaitu tahun 2006. Dari target Rp38,5 triliun DJBC hanya dapat mencapai Rp37,5 triliun. Meski saya punya catatan dari bulan ke bulan faktor yang menjadikan kenapa target ndak tercapai, sepertinya tak elok memaparkan. Satu hikmah yang paling nyata yang saya simpulkan,”Kadang montir mobil lebih efektif menyelesaikan mobil ngadat dari seorang insinyur mesin sekalipun” Dan anda boleh tak setuju dengan pendapat saya.
Seputar target cukai, ada pertanyaan yang acap kali terlontar mana kala membahasnya,”Seberapapun target cukainya, DJBC bisa merealisasikannya”. Atau terdapat juga,”Target disodorkan DJBC, angka yang relatif mudah” atau yang lebih sarkastis,”Masih ada yang disembunyikan dan ada yang masih main-main
Untuk yang terakhir tadi saya punya pendapat. Memang suatu opini idealnya ditandingi dengan opini. Hanya ketika ruang serta waktu tak cukup luas untuk duduk bersama sang pembuat opini, apalagi dibumbui embel-embel ungkapan hiperbolik akan menjadikan negeri ini jatuh-lah atau apapun-lah, maka terkait ungkapan ”target cukai masih ada yang dsimpan”, kesimpulan yang didapatkan tak ada selain “benar-benaran”. Boro boro solusi menyelesaikan, sebaliknya yang ada justru menaburkan keresahan.
Saya membatasi diri terkait pengetahuan di luar cukai khususnya bidang pengawasan dan inteleijen yang barangkali berkembang di “luar sana”. Ini mengingat tugas dan fungsi saya menangani kebijakan teknis bidang cukai hasil tembakau. Di tulisan sebelum ini di www.sunaryo.hasiltembakau.blogspot.com secara tersurat saya memaparkan menangani persoalan dibidang cukai dengan kebijakan cukai itu keniscayaan. Tapi menuntasakan persoalan diluar ranah cukai dengan kebijakan cukai, maka akan menemui kesulitan. Minimal adjustment yang dilakukan butuh “energi lebih” untuk membenarkan. Data data seolah menjauh untuk mengatakan “itu adalah significant” dan kebijakan yang akan dilakukan memang demikian.
Oleh karenanya dalam kesempatan ini kami berbagi mengenai bagaimana menangani target cukai. Sebagai informasi menurut perkiraan kami, pada tahun 2015 realisasi penerimaan cukai akan “paling hijau” diantara semua target penerimaan perpajakan di tahun 2015 (so rise your hand and say,”allahumma amiin”)
Ada tiga sumber penerimaan yang menjadi sumber penerimaan cukai. Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Hasil Tembakau. Direktorat Cukai me-manage kebijakan ketiga sumber tersebut. Sekali lagi hanya tiga jenis barang. Berbeda dengan “Saudara Tua” DJBC yang mencakup semua barang. Hanya yang dikecualikan yang tidak dikenai perpajakan.
Dari aspek produksi tentu banyak keterbatasan untuk diandalkan sebagai instrumen pencapaian target cukai,  karena membiarkan tumbuh sebebasnya menyalahi filosofis undang undang cukai itu sendiri. Tak tepat mengandalkan dari aspek itu. Oleh karenanya digunakanlan instrumen tarif yang di-update hampir setiap tahun. Itu instrumen yang utama. Karena dengan instrumen itu dua kepentingan cukai bisa di-handle: regulerend dan budgetair
Kebijakan administratif yang semi-tarif pun banyak dijalankan oleh DJBC yang barangkali jika melihat sekilas regulasinya akan tak terlihat dampaknya. Peraturan menteri keuangan yang mengatur hubungan keterkaitan adalah satu kebijakan yang tujuannya membentengi terjadinya tax-avoidance. Dengan segala perhelatannya dan kesulitannya DJBC berhasil menjalankan kebijakan ini. Meski riak-riak di-PTUN-kan dan dengan menang-kalahnya, DJBC gagah berani menjalankan peraturan itu. Dan dibandingkan dengan “Saudara Tua” yang memiliki ketentuan yang lebih kuat yakni dalam undang undang perpajakan yang mengatur “Hubungan Istimewa”, pada sektor pertembakauan, DJBC lebih kentara dalam mengeksekusi.
Menelaah kenapa DJBC yang bermodal Permenkeu lebih “greng” dalam menjalankan ketentuan hubungan keterkaitan barangkali karena melihat,-katanya,”Secara historis memang DJBC beda dengan DJP”. Kalau pungutan perpajakan ketika jaman kekaisaran dahulu kala adalah semacam “upeti” kepada kaisar atau raja.  Oleh karenanya diminta atau tidak (pasif), “upeti” akan datang sendiri. Sementara kalau Pungutan Pabean dan Cukai adalah sebagaimana pungutan “Mandor Pelabuhan” atau “Mandor Pasar” yang menjalankan pungutan dengan extra-effort-nya. Ada unsur aktif di pungutan Pabean dan Cukai. Wajar meski hanya bermodal Permenkeu saja banyak pungutan negara di tangan DJBC bisa berjalan dengan baik. Bahkan ada yang berseloroh kiranya Undang-Undang Pajak yang menjalankan DJBC  bisa jadi akan lebih efektif. Minimal bagian penindakannya. Dan ada yang menimpali,”Bukan DJBC gabung ke DJP melainkan DJP-lah bergabung ke DJBC”. (Sekedar pendapat yang bisa diperdebatkan)
Untuk tahun 2015 ada satu kebijakan non tarif yang juga diimplentasikan oleh DJBC. Penundaan pembayaran cukai untuk yang biasanya dapat melewati akhir tahun, pada tahun 2015 maka harus dilunasi cukainya pada bulan desember 2015. Kebijakan ini adalah pertama di laksanakan dalam sejarah per-cukaian selama kurun 70 tahun Indonesia merdeka. Dengan kebijakan ini pemerintah pada tahun 2015 mendapatkan penerimaan cukai sebanyak 14 bulan. Meski dengan segala kesulitannya, kebijakan ini sampai sejauh ini diperkirakan secara keseluruhan akan berjalan dengan baik. Tidak hanya pemerintah yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini. Sektor perbankan,  juga paling diuntungkan. Karena pada bulan Desember setiap tahunan setidaknya ada kredit hampir Rp38 triliun dengan jatuh tempo 2 bulan. (anda boleh mencari pembanding apakah ada sektor lain yang)
Dan pada akhirnya, manakala semua upaya telah terlaksana, tinggal menunggu hasilnya. Semua keringat telah tumpah dan tinggal menunggu realisasinya. Hari demi hari penerimaan kami “tally”. Satu demi satu CK-1 kami kalkulasi. Minggu demi minggu hari CK-5 kami tunggu. Dan semua energi telah kami curahkan hanya demi “nongkrongi” angka-angka ini. Numerik Satu (1) Empat (4) Lima (5) praktis ter-pateri ditidur kami (Rp145 triliun target cukai 2015).
Oleh karenanya jika ada hasil sebuah kinerja ada sebuah konsekuensi itu wajar (seperti Dirjen Pajak mengundurkan diri). Kemudian sebuah kinerja diikuti apresiasi itu juga wajar. Tapi kalau ada sebuah kinerja yang bagus malah dicurigai? Sepertinya dua jawaban dengan menggunakan kata “wajar” adalah tak tepat. Meski kalau itu terjadi, sebagai Bea Cukai saya pun akan berkata,”Siap....!” Hanya dengan segala energi yang saya miliki akan saya tutup bibir dengan satu jari. Saya tahan semua kata yang akan keluar dari mulut saya.
Yang menjadi sulit adalah bagaimana mengendalikan di bawah yang setiap hari njagain pabrik ketika ada respon kurang sesuai diharapkan seperti,”Masih banyak yang disimpan” atau “Itu masih bisa lebih tinggi.” Saya akan kesulitan menutup bibir mereka agar tidak muncul ungkapan kata berakhiran “...Jar” yang lain yang tentunya konotasi negatif.  
Sekedar pembanding, Plt. Dirjen Pajak meski penerimaan perpajakan jauh dari memuaskan, en-toh masih berani menyatakan,”Gaji tetep naik” meski menggunakan alibi Pegawai Pemda DKI. Tentu tak elok untuk bidang cukai yang kinerjanya insya-Allah lebih baik dari DJP, yang didapatkan komentar seperti di atas. Semoga semua berawal dari kekhawatiran saya. Meski kalau melihat perjalanan cukai, banyak kekhawatiran saya yang pada akhirnya menjadi kenyataan. Anda pingin tahu? Banyak buka blog saya. Satu per satu saya buka di edisi mendatang.

Jakarta, Desember 2015