21 Jan 2016

Dana Ketahanan Energi dan Infrastruktur Cukai

Oleh: Sunaryo*


Harian KONTAN 18 Januari 2016
Pro kontra pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) mewarnai media di akhir tahun 2015. Dasarnya adalah pasal 30 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2014 sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 30/2007. Meski akhirnya diputuskan ditunda oleh pemerintah, wacana DKE masih menyisakan perdebatan dasar hukumnya. Apa “wadah” yang lebih tepat dari pungutan DKE?
Untuk mengarahkan “wadah” yang paling tepat,pertama harus dilihat tujuan pungutan itu sendiri, yaitu untuk membangun prasarana energi baru dan terbarukan. Ada share beban dari konsumen BBM terhadap pengelolaan infrastruktur produksi BBM. Ini tertuang dalam Pasal 48 dan 49 UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang dikategorikan sebagai Pungutan Penerimaan Bukan Pajak (PNBP). Oleh karenanya, jika ada pungutan tambahan yang dibebankan pada konsumen BBM, akan terjadi dualisme pungutan dengan tujuan yang sama. Ini melanggar prinsip pungutan negara secara umum (semacam double taxation).
Mekanisme paling tepat untuk membiayai infrastruktur energi baru dan terbarukan adalah mekanisme earmarking. Contohnya adalah Pajak Kendaraan Bermotor yang 10% wajib dialokasikan untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana transportasi umum. Begitu pula pungutan Pajak Rokok yang 50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.
Apakah DKE ini perlu dimasukan dalam UU No 30/2007 tentang Energi? Sepertinya sangat perlu penafsiran yang lebih untuk memungut DKE. Sebab, UU tersebut tidak eksplisit tertulis menambah pungutan baru. Hal yang sala juga jika menggunakan Pasal 30 PP No 79/2014.
Melihat tujuan pungutan dan tahapan yang diperlukan untuk merealisasikan DKE, “wadah” paling tepat yaitu cukai. Pertama, dari aspek filosofis, BBM termasuk barang yang perlu dikendalikan konsumsinya. Pengendalian konsumsi adalah salah satu “roh” pungutan cukai. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, bahkan India, pungutan cukai BBM (gasoline/fuel tax) lazim dikenakan. Bahkan dari literature cukai, BBM dikenakan cukai satu keniscayaan. Karenanya,best practice pungutan cukai sudah tidak perlu dicari reasoning-nya.
Resistensi pungutan
Dari segi perangkat teknis hukum, pungutan cukai BBM relatif paling lengkap dibandingkan regulasi lainnya untuk DKE. Penetapan objeknya cukup menggunakan Peraturan Pemerintah. Hal ini secara tegas tertulis dalam Pasal 2 UU No. 11 Th. 2007. Penambahan atau pengurangan jenisBarang Kena Cukai diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Apakah pungutan cukai ini tidak akan mengurangi tujuan pemerintah mengurangi tujuan pemerintah meringankan beban masyarakat? Jawabannya tentu tidak. Terdapat fleksibilitas pungutan cukai, yakni bisa dibebaskan sesuai tujuan konsumsinya. Menteri Keuangan sangat fleksibel menetapkan. Saat ini yang telah berjalan dan menyerupai DKE yakni pungutan etil alkohol (etanol). Etanol dalam praktik pungutan cukai lebih banyak untuk industri (pembebasan etil alkohol).
Karenanya jika kendaraan angkutan umum dibebaskan pungutan BBM ini sangat memungkinkan. Demikian juga untuk kepentingan industri lainnya. Bahkan untuk masyarakat miskin pun,Menteri Keuangan bisa saja membebaskannya. Dengan jalur distribusi BBM dari hulu ke hilir yang sudah tertata, pemberian fasilitas pembebasan cukai bisa dikontrol.
Satu tantangan yang harus diselesaikan adalah kepentingan politis BBM yang menjadi ramah legislatif. Di sektor BBM, kendala politis lebih menyulitkan dari kendala teknis. Selama ini, rencana kenaikan harga BBM begitu menyita energi luar biasa. Hampir semua alasan dikerahkan para politikus untuk tidak setuju. Situasi saat harga minyak mentah dunia sedang turun (Per 8 Januari 2016 hanya US$ 33,55 per barel) akan mengurangi resistensi pungutan cukai BBM.
Pada akhirnya semua tergantung political will baik eksekutif maupun legislatif. Secara teoritis, sebenarnya sangat memungkinkan DKE dialihkan ke pungutan cukai. Secara practice, praktik ini sudah tersedia perangkat hukumnya, secara best practice juga telah dijalankan di negara-negara maju. Secara ekonomi global juga sangat memungkinkan dijalankan. Tinggal bagaimana menjinakkan para penentang kebijakan.
***

No comments:

Post a Comment