- MENJAUHKAN STIGMA CUKAI DARI PAJAK DOSA
- Oleh Sunaryo*
Label sin tax ini juga menjadi faktor utama yang menghambat usulan penambahan objek cukai baru. Memang jika dikenakan tambahan beban tarif 5%-10%, pengusaha akan keberatan. Tetapi, lebih berat lagi jika produknya terkena label “pajak dosa”. Mereka khawatir disamakan perlakuannya dengan barang kena cukai saat ini, seperti minuman keras.
Di berbagai negara, jenis barang kena cukai sangat variatif dan jumlahnya relatif banyak. Indonesia pernah mengenakan cukai atas bahan bakar minyak (minyak tanah) dan juga gula. Pada UU No. 11 Tahun 1995, kedua pungutan cukai tersebut dicabut. Alasannya, gula sangat dibutuhkan dalam pengembangan industri pengolahan makanan dan minuman, sementara pasokan dalam negeri kurang.
Yang menarik, setelah lama cukai BBM dihapus, tiba tiba muncul gagasan pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) dari Kementerian ESDM. Alasannya paralel dengan filosofis cukai, yakni perlu pengendalian BBM untuk pengembangan energi terbarukan.
Mengenakan dan melepaskan pungutan cukai sebenarnya tidak tabu di beberapa nagara. Per 1 Januari 2015. Hungaria mengenakan cukai atas makanan ringan (snack tax). Azerbaijan mengenakan pungutan cukai platinum, emas, dan permata. Sementara itu, Thailand tiga tahun lalu melepaskan pungutan cukai Spa untuk kembali menarik wisatawan.
Di Finlandia minuman berkarbonasi, susu, margarin, permadani, arloji, tiket pesawat, bahkan asuransi dan travel dikenakan cukai. Prancis mengenakan cukai atas minuman berkarbonasi, kopi, gula, kosmetik, parfum, dan asuransi. Jepang memungut cukai atas minuman berkarbonasi, biji coklat, gula, dan juga permadani. Singapura memungut cukai atas gula, televisi, radio, listrik, gas, air, telepon, serta rekening hotel.
Barang-barang di atas sangat jauh dari sifat barang kena cukai yang kita kenakan, yakni jauh dari kesan pungutan sebagai pajak dosa. Semua pihak, baik ekonom, pelaku usaha, dan semua yang berkepentingan, harus membuka mata atas paradigma ini. Kejadian atas gagalnya pungutan cukai minuman berkarbonasi akibat sinergi antar kementrian di atas tidak berjalan. Barang yang sudah menjadi target untuk dikendalikan berdasarkan program Sustainable Development Goals (SDGs) ditolak oleh kementerian yang secara tugas dan fungsi seharusnya mendukung program SDGs.
Sinergi kementerian
Kita selalu saja menyoroti beban pungutan ketika pungutan cukai atas suatu barang direkomendasikan. Padahal cukai tidak semata-mata membahas itu. Terdapat pengaturan fasilitas pembebasan dan tidak dipungut cukai. Para pengamat sering melupakan bahwa cukai juga juga instrumen fiskal. Menteri Keuangan berwenang penuh mengatur seluas luasnya sesuai Pasal 8 dan Pasal 9 UU 39 Tahun 2007. Jika plastik kemasan minuman disetujui dikenakan cukai dalam APBN-P 2016, akan banyak relaksasi regulasi fiskal yang berbeda dengan rokok atau minuman keras.
Aspek lainnya yang menguntungkan pengusaha juga perlu dipertimbangkan. Hanya cukai instrumen fiskal yang secara komprehensif dapat mengontrol dari hulu hingga hilir. Bagi pengusaha, terdapat manfaat karena mengurangi kemungkinan pemalsuan produk. Pengawasannya juga secara aktif tanpa harus menunggu laporan pemilik produk.
Melihat berbagai aspek di atas menjadi semakin jelas bahwa pengenaan cukai tidak selalu equal sebagai pajak dosa. Oleh karenanya menjadi ironi jika sebagian suatu barang di sebagian besar negara lain dikenakan, kenapa kita mempertentangkan? Semua kementerian perlu duduk bersama bersinergi terkait ekstensifikasi cukai. Janganlah penolakan dari sebuah kementerian menjadi semacam semacam “hak veto” atas usulan ekstensifikasi cukai.
Benar akan ada kontraksi ekonomi jika pungutan cukai baru atas suatu barang dikenakan. Inflasi juga terpengaruh karena adanya tambahan beban di biaya perusahaan yang akan sampai ke konsumen. Tapi, seberapa besar dampaknya tentu bisa dihitung bersama agar target inflasi APBN tak terlampaui. Tak ada kesulitan dalam hal ini kecuali memang semua usulan ekstensifikasi cukai dikondisikan tidak berjalan.
Benar akan ada kontraksi ekonomi jika pungutan cukai baru atas suatu barang dikenakan. Inflasi juga terpengaruh karena adanya tambahan beban di biaya perusahaan yang akan sampai ke konsumen. Tapi, seberapa besar dampaknya tentu bisa dihitung bersama agar target inflasi APBN tak terlampaui. Tak ada kesulitan dalam hal ini kecuali memang semua usulan ekstensifikasi cukai dikondisikan tidak berjalan.
***
*Penulis adalah Kasubdit Tarif Cukai Bea Cukai
No comments:
Post a Comment