KARENA MICHAEL BLOOMBERG TIDAK MEMERANGI MIRAS
Oleh: Sunaryo Kartodiwiryo*
Para petani,
usahawan, perokok, bahkan para cendikia pemerhati rokok sering bertanya,”Kenapa Minuman Keras (Miras) yang lebih
berbahaya dari aspek kesehatan tidak diperangi oleh para penggiat di bidang
kesehatan?” Apakah karena sudah jelas ada fatwa haram? Karenanya tak perlu aliansi internasional untuk memeranginya?
Jika demikian jawabannya bukankah rokok juga diharamkan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) ataupun Muhammadiyah? Lalu kenapa ada aliansi internasional
untuk memerangi rokok? Apa karena di luar negeri rokoknya putih di indonesia
rokok kretek? Banyak pertanyaan yang tak terjawab jika mengkomparasi rokok
dengan miras. Bingung menjawabnya sebagian diantara mereka berseloroh,”Karena Michael Blooberg tidak memerangi Miras!”
Tak usah geram
dengan jawaban eufimistis di atas. Sebagaimana selalu saja muncul tuduhan Industrial Conspiration dari pihak anti
rokok terhadap siapapun yang sekedar berpikir proporsionnal melihat kontribusi industri
rokok di Indonesia. Mereka diposisikan selalu
memiliki kepentingan di sana. Kalau tidak mendapatkan untung, minimal mereka perokok.
Jadi biarkanlah masing-masing berpijak di posisinya. Sarkastis ataupun eufimistis
tak bisa dihindarkan dikala da benturan kepentingan menyangkut hajat hidup
banyak orang.
Kementrian
Keuangan adalah isntitusi yang berada ditengah dua benturan kepentingan baik
yang pro dan kontra terhadap rokok. Perannya dalam membuat policy selalu dipenuhi masukan khususnya kala tarif cukai dalam pe-nggodog-an. Viral rokok melalui media
massa menjadi Rp50.000 per kemasan adalah satu misi mempengaruhi opini publik
agar Kementrian Keuangan tak terlalu rendah dalam mengeluarkan kebijakan. Meski
untuk kali ini metode yang dipakai
sangat kreatif. Ada semacam “Cyber Army” yang bekerja systemic untuk menggelindingkan bola
salju opini dari survei yang sangat-sangat sederhana. Bentuknya dengan pemaparan foto label harga
di berbagai mini market yang jelas-jelas dibantah dari pengelola ritel.
Survei itu sangat-sangat
sederhana karena tak ada penggeneralisiran kesimpulannya secara nasional
melalui estimasi oleh peneliti. Ini wajar saja karena pengambilan samplenya
juga purposive sampling yang memang
secara metodolgi “haram” menggeneralisasi.
Media sosial-lah sang penggenaralisasi yaitu
dengan mengkanalisasi pendapat yang pro dan kontra. Dari samplenya saja coverage-nya tidak representatif karena
hanya 1000 orang sementara jumlah
penduduk Indonesia 260 juta orang. Jika dipersentase coverage sample hanya 38 mikro persen dari populasi.
Langkah taktis
pembentukan opini penggerak anti tembakau dimulai kembali kala Presiden Joko
Widodo menolak usulan ratifikasi Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC). Usulan yang semula dapat mencapai
tujuan tiba-tiba membentur tembok besar
dengan pernyataan sederhana Presiden,”Jangan
ikut-ikutan negara lain” dan “Memperhatikan
kepentingan nasional” menjadi pedoman untuk menangani industri ini.
Urusan
memperhatikan kepentingan nasional terkait rokok sebenarnya telah dirintis
sejak tahun 2007. Di saat yang sama Menteri Keuangan juga Sri Mulyani. Saat itu
Triger-nya kemenkeu mengusulkan
perubahan sistem tarif cukai spesifik (rupiah per batang) dari sebelumnya advalorum (persentase kali harga eceran).
Banyak pihak yang berkeberatan dengan sistem ini karena terdapat konsekuensi akan
merubah persaingan di masing masing strata pabrik. Penolakan juga datang dari
pabrik khususnya yang telah memiliki branding
di pasaran. Karena dengan keuatan brand-nya beban kenaikan harga eceran
dapat langsung di alihkan ke konsumen sepenuhnya. Produk mereka sensifitas
harganya rendah. Ini yang tidak bisa
dilakukan pabrik kecil. Terlebih harga
di pasaran saat itu sudah 50% dibawah harga banderol pita cukai.
Pada akhirnya
Menteri Keuangan tetep bersikukuh dengan sistem spesifik namun demikian meminta
Kementrian Perindustrian membuat Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) kedepan.
Kemudian bersinergi Kementrian kala itu menyusun Roadmap IHT tahun 2007-2020.
Kementrian Keuangan, Perindustrian, Pertanian, Tenaga Kerja, dan tentunya
Kesehatan. Konsekuensinya kebijakan tarif cukai rokok mengacu Roadmap IHT.
Terdapat tiga komponen utama dalam Roadmap IHT yaitu penerimaan, tenaga kerja,
dan kesehatan yang prioritasnya disesuaikan masing masing tahapan. Periode
jangka pendek tahun 2007-2010 memprioritaskan penerimaan, tenaga kerja, dan
kesehatan. Periode jangka menengah tahun 2010-2015 menjadikan tenaga Kerja
sebagai prioritas, disusul kesehatan, dan penerimaan, Periode jangka panjang
2015-2020 sudah menomor satukan kesehatan disusul tenaga kerja dan penerimaan.
Dari masing
masing besaran pokok tersebut dielaborasi atara lain dalam rangka penerimaan meliputi
menciptakan insdustri sehat, mendorong harga rokok riil (tidak lebih rendah
dari harga banderol), mengurangi rokok ilegal, dan mendorong penyederhanaan
strata. Implementasi dari hal tersebut Kementrian Keuangan melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai melakukan law
enforcement. Pabrik banyak ditutup karena tidak memenuhi syarat atau tidak
aktif selama satu tahun. Pemantauan peredaran rokok di pasaran diawasi dengan
menerapkan personalisasi (pengkodean nama pabrik) pita cukai. Upaya
penyederhanaan secara gradual
struktur tarif cukai dengan cara pengurangan layer. Untuk sigaret mesin dan
tangan tahun 2007 masih 19 layer tarif cukai sedangkan 2016 menjadi 12 layer
saja. Efek penyederhanaan struktur tarif berdampak kenaikan tarif cukai hingga 75%-80%
di layer tarif tertentu.
Dari aspek
tenaga kerja diwujudkan dengan memberi ruang pada sigaret yang dikerjakan
dengan tangan atau bisa disingkat Sigaret Kretek Tangan (SKT). Adanya disparitas
tarif cukai ini mengingat SKT diproduksi turun menurun dari generasi ke
generasi seperti di Jepara, Kudus, dan Kebumen untuk Jawa Tengah. Di Jawa timur
di Kediri, Malang, dan Pasuruan. Disamping memberi gap besaran tarif secara
keseluruhan dengan sigaret mesin, juga dibuatkan layer khusus untuk golongan
sangat kecil atau bisa disebut golongan IIIB. Tahun lalu layer ini tidak
dinaikan sama sekali demi melindungi ratusan ribu tenaga kerja. Kebijakna ini
ampuh terbukti dari media cetak tahun 2016 tidak satupun terdapat pemuatan PHK
industri rokok.
Aspek
kesehatan adalah aspek yang perlu waktu diseragamkan antara berbagai kementrian.
Terkadang ironi melihat tuntutan Kementrian Kesehatan menambah PHW (Picturial Health Warning) melebihi 40%
di bungkus rokok. Terlebih jika melihat Swiss dimana WHO (World Health
Organisation) bermukim ternyata rokok ekspor
asal Indonesia tak menggunakan PHW. Apakah pernah menkritik situasi ini ke WHO
atas masalah ini. Yang ironi para penggiat anti rokok selalu merasa rendah
dengan negara lain. Dan faktor penyebanya hanya urusan formalitas ratifikasi
FCTC ketimbang materi FCTC itu sendiri. Terlihat over interpretation atau over
implementation article FCTC
dengan menyederhanakan persoalan rokok di indonesia.
Masih banyak
pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Misalnya klaim sepihak penggunaan dana
kesehatan untuk menanggulangi bahaya rokok adalah tiga kali nilai cukai rokok .
Ini berarti setara Rp500 triliun. Metodologinya, periodenya, dan tempat
penelitiannya perlu di-publish agar
publik dapat menilai. Perlu sikap egaliter masing masing kementrian untuk
membahas kepentingan nasional di sektor ini. Satu cara egaliter dalam membahasnya adalah kesediaan duduk bersama dan
membuka data bersama. Menjadi tak elok menolak hanya lantaran satu article FCTC
yang “meng-haram-kan” bicara dengan
industri rokok. Sebagai bangsa yang besar sangat perlu punya posisi atas sektor
ini dalam percaturan global.
Roadmap IHT
periode 2007-2020 adalah upaya maksimal menyatukan sekian persepsi kementrian
dalam menangani rokok. Langkah Presiden Jokowi agar mengkaji kembali
permasalahan ini perlu diapresiasi. Tentu karena banyak persoalan yang signifikan
yang harus ditangani secara hati-hati. Dan untuk Indonesia, Presiden turun
tangan menangani persoalan rokok ternyata bukan pertama kali. Presiden Soekarno
tahun 1946 melalui UU Nomor 21 Tahun 1946 Tentang Cukai Tembakau yang
mengatakan dalam satu konsideranya,”percentage
cukai tembakau dirasakan amat tinggi dan memberatkan kepada rakyat”.
Kemudian memutuskan dalam pasalnya yaitu,”
Menurunkan Cukai Tembakau”. Catatan Ini
menyimpulkan bahwa rokok bagi Indonesia rokok hingga saat ini belum berubah “statusnya”
sejak 1946. Yang jelas pada tahun 1946 Michael Bloomberg tak mungkin protes apalagi
mengucurkan dana untuk memprotes. Maklum tahun 1946 Bloomberg berusia 4 tahun
karena Lahir 14 February 1942.
***
No comments:
Post a Comment