11 Mar 2017

Rokok: Kementrian Keuangan Menjaga Keseimbangan Benturan Kepentingan

KARENA MICHAEL BLOOMBERG TIDAK MEMERANGI MIRAS

Oleh: Sunaryo Kartodiwiryo*


Para petani, usahawan, perokok, bahkan para cendikia pemerhati rokok sering bertanya,”Kenapa Minuman Keras (Miras) yang lebih berbahaya dari aspek kesehatan tidak diperangi oleh para penggiat di bidang kesehatan?” Apakah karena sudah jelas ada fatwa haram? Karenanya tak perlu aliansi internasional untuk memeranginya? Jika demikian jawabannya bukankah rokok juga diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ataupun Muhammadiyah? Lalu kenapa ada aliansi internasional untuk memerangi rokok? Apa karena di luar negeri rokoknya putih di indonesia rokok kretek? Banyak pertanyaan yang tak terjawab jika mengkomparasi rokok dengan miras. Bingung menjawabnya sebagian diantara mereka berseloroh,”Karena Michael Blooberg tidak memerangi Miras!

Tak usah geram dengan jawaban eufimistis di atas. Sebagaimana selalu saja muncul tuduhan Industrial Conspiration dari pihak anti rokok terhadap siapapun yang sekedar berpikir proporsionnal melihat kontribusi industri rokok di Indonesia.  Mereka diposisikan selalu memiliki kepentingan di sana. Kalau tidak mendapatkan untung, minimal mereka perokok. Jadi biarkanlah masing-masing berpijak di posisinya. Sarkastis ataupun eufimistis tak bisa dihindarkan dikala da benturan kepentingan menyangkut hajat hidup banyak orang.

Kementrian Keuangan adalah isntitusi yang berada ditengah dua benturan kepentingan baik yang pro dan kontra terhadap rokok. Perannya dalam membuat policy selalu dipenuhi masukan khususnya kala tarif cukai dalam pe-nggodog-an. Viral rokok melalui media massa menjadi Rp50.000 per kemasan adalah satu misi mempengaruhi opini publik agar Kementrian Keuangan tak terlalu rendah dalam mengeluarkan kebijakan. Meski untuk  kali ini metode yang dipakai sangat kreatif.  Ada semacam “Cyber Army” yang bekerja systemic untuk menggelindingkan bola salju opini dari survei yang sangat-sangat sederhana.  Bentuknya dengan pemaparan foto label harga di berbagai mini market yang jelas-jelas dibantah dari pengelola ritel.

Survei itu sangat-sangat sederhana karena tak ada penggeneralisiran kesimpulannya secara nasional melalui estimasi oleh peneliti. Ini wajar saja karena pengambilan samplenya juga purposive sampling yang memang secara metodolgi “haram” menggeneralisasi. Media sosial-lah sang  penggenaralisasi yaitu dengan mengkanalisasi pendapat yang pro dan kontra. Dari samplenya saja coverage-nya tidak representatif karena hanya 1000 orang  sementara jumlah penduduk Indonesia 260 juta orang. Jika dipersentase coverage sample hanya 38 mikro persen dari populasi.

Langkah taktis pembentukan opini penggerak anti tembakau dimulai kembali kala Presiden Joko Widodo menolak usulan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Usulan yang semula dapat mencapai tujuan  tiba-tiba membentur tembok besar dengan pernyataan sederhana Presiden,”Jangan ikut-ikutan negara lain” dan “Memperhatikan kepentingan nasional” menjadi pedoman untuk menangani industri ini.

Urusan memperhatikan kepentingan nasional terkait rokok sebenarnya telah dirintis sejak tahun 2007. Di saat yang sama Menteri Keuangan juga Sri Mulyani. Saat itu Triger-nya kemenkeu mengusulkan perubahan sistem tarif cukai spesifik (rupiah per batang) dari sebelumnya advalorum (persentase kali harga eceran). Banyak pihak yang berkeberatan dengan sistem ini karena terdapat konsekuensi akan merubah persaingan di masing masing strata pabrik. Penolakan juga datang dari pabrik khususnya yang telah memiliki branding di pasaran. Karena dengan keuatan brand-nya beban kenaikan harga eceran dapat langsung di alihkan ke konsumen sepenuhnya. Produk mereka sensifitas harganya rendah. Ini yang tidak bisa dilakukan pabrik kecil. Terlebih harga di pasaran saat itu sudah 50% dibawah harga banderol pita cukai.

Pada akhirnya Menteri Keuangan tetep bersikukuh dengan sistem spesifik namun demikian meminta Kementrian Perindustrian membuat Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) kedepan. Kemudian bersinergi Kementrian kala itu menyusun Roadmap IHT tahun 2007-2020. Kementrian Keuangan, Perindustrian, Pertanian, Tenaga Kerja, dan tentunya Kesehatan. Konsekuensinya kebijakan tarif cukai rokok mengacu Roadmap IHT. Terdapat tiga komponen utama dalam Roadmap IHT yaitu penerimaan, tenaga kerja, dan kesehatan yang prioritasnya disesuaikan masing masing tahapan. Periode jangka pendek tahun 2007-2010 memprioritaskan penerimaan, tenaga kerja, dan kesehatan. Periode jangka menengah tahun 2010-2015 menjadikan tenaga Kerja sebagai prioritas, disusul kesehatan, dan penerimaan, Periode jangka panjang 2015-2020 sudah menomor satukan kesehatan disusul tenaga kerja dan penerimaan.

Dari masing masing besaran pokok tersebut dielaborasi atara lain dalam rangka penerimaan meliputi menciptakan insdustri sehat, mendorong harga rokok riil (tidak lebih rendah dari harga banderol), mengurangi rokok ilegal, dan mendorong penyederhanaan strata. Implementasi dari hal tersebut Kementrian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan law enforcement. Pabrik banyak ditutup karena tidak memenuhi syarat atau tidak aktif selama satu tahun. Pemantauan peredaran rokok di pasaran diawasi dengan menerapkan personalisasi (pengkodean nama pabrik) pita cukai.   Upaya penyederhanaan secara gradual struktur tarif cukai dengan cara pengurangan layer. Untuk sigaret mesin dan tangan tahun 2007 masih 19 layer tarif cukai sedangkan 2016 menjadi 12 layer saja. Efek penyederhanaan struktur tarif berdampak kenaikan tarif cukai hingga 75%-80% di layer tarif tertentu.

Dari aspek tenaga kerja diwujudkan dengan memberi ruang pada sigaret yang dikerjakan dengan tangan atau bisa disingkat Sigaret Kretek Tangan (SKT). Adanya disparitas tarif cukai ini mengingat SKT diproduksi turun menurun dari generasi ke generasi seperti di Jepara, Kudus, dan Kebumen untuk Jawa Tengah. Di Jawa timur di Kediri, Malang, dan Pasuruan. Disamping memberi gap besaran tarif secara keseluruhan dengan sigaret mesin, juga dibuatkan layer khusus untuk golongan sangat kecil atau bisa disebut golongan IIIB. Tahun lalu layer ini tidak dinaikan sama sekali demi melindungi ratusan ribu tenaga kerja. Kebijakna ini ampuh terbukti dari media cetak tahun 2016 tidak satupun terdapat pemuatan PHK industri rokok.

Aspek kesehatan adalah aspek yang perlu waktu diseragamkan antara berbagai kementrian. Terkadang ironi melihat tuntutan Kementrian Kesehatan menambah PHW (Picturial Health Warning) melebihi 40% di bungkus rokok. Terlebih jika melihat Swiss dimana WHO (World Health Organisation) bermukim  ternyata rokok ekspor asal Indonesia tak menggunakan PHW.    Apakah pernah menkritik situasi ini ke WHO atas masalah ini. Yang ironi para penggiat anti rokok selalu merasa rendah dengan negara lain. Dan faktor penyebanya hanya urusan formalitas ratifikasi FCTC ketimbang materi FCTC itu sendiri. Terlihat over interpretation atau over implementation article FCTC dengan menyederhanakan persoalan rokok di indonesia.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Misalnya klaim sepihak penggunaan dana kesehatan untuk menanggulangi bahaya rokok adalah tiga kali nilai cukai rokok . Ini berarti setara Rp500 triliun. Metodologinya, periodenya, dan tempat penelitiannya perlu di-publish agar publik dapat menilai. Perlu sikap egaliter masing masing kementrian untuk membahas kepentingan nasional di sektor ini. Satu cara egaliter dalam membahasnya adalah kesediaan duduk bersama dan membuka data bersama. Menjadi tak elok menolak hanya lantaran satu article FCTC yang “meng-haram-kan” bicara dengan industri rokok. Sebagai bangsa yang besar sangat perlu punya posisi atas sektor ini dalam percaturan global.

Roadmap IHT periode 2007-2020 adalah upaya maksimal menyatukan sekian persepsi kementrian dalam menangani rokok. Langkah Presiden Jokowi agar mengkaji kembali permasalahan ini perlu diapresiasi. Tentu karena banyak persoalan yang signifikan yang harus ditangani secara hati-hati. Dan untuk Indonesia, Presiden turun tangan menangani persoalan rokok ternyata bukan pertama kali. Presiden Soekarno tahun 1946 melalui UU Nomor 21 Tahun 1946 Tentang Cukai Tembakau yang mengatakan dalam satu konsideranya,”percentage cukai tembakau dirasakan amat tinggi dan memberatkan kepada rakyat”. Kemudian memutuskan dalam pasalnya yaitu,” Menurunkan Cukai Tembakau”.  Catatan Ini menyimpulkan bahwa rokok bagi Indonesia rokok hingga saat ini belum berubah “statusnya” sejak 1946. Yang jelas pada tahun 1946 Michael Bloomberg tak mungkin protes apalagi mengucurkan dana untuk memprotes. Maklum tahun 1946 Bloomberg berusia 4 tahun karena Lahir 14 February 1942.
***



No comments:

Post a Comment