11 Apr 2015

Laffer Curve dan Tarif Cukai Rokok 2015

Laffer Curve Pada Kebijakan Tarif Cukai Rokok
Oleh: Sunaryo*



Pada tanggal 20 Maret 2015 di Kantor Pusat DJBC diadakan Forum Discussion Group (FGD) Implementasi Theori Laffer Dalam Kebijakan Cukai. Forum yang digelar oleh Direktorat Cukai tersebut mendatangkan penemu theorinya yaitu Arthur B. Laffer. Ph.D. Langkah ini merupakan terobosan sangat bagus untuk perkembangan kebijakan cukai rokok. Selain itu diharapan dapat memperjelas seperti apa aplikasinya dalam kebijakan cukai di Indonesia, terutama untuk cukai hasil tembakau  (rokok).  Kita mengetahui cukai rokok merupakan andalan penerimaan cukai karena kontribusinya diatas 90%. Jika Salah menetapkan kebijakan bisa sebaliknya yang didapat:-bukannya kenaikan penerimaan melainkan penurunan. Pertanyaannya apakah mungkin terjadi? Apakah sudah terjadi dan kalau belum, kapan itu terjadi? Tulisan ini mencoba memberi jawaban atas aplikasi Theory Laffer dalam kebijakan cukai rokok.

Kurva Laffer Dan Fungsi Parabola



Jika mengambil teks penjelasan dari Laffer, memahami kurva laffer  secara gampang yaitu terdapat dua titik ekstrim tarif pajak pertama disebelah kiri adalah 0%. Pada situasi ini negara tak akan mendapatkan penerimaan apapun karena tarif pajak 0%. Titik ekstrim berikutnya adalah tarif  100%. Di sini pun negara tak akan mendapatkan penerimaan sama sekali karena tarif pajak terlalu tinggi yang berdampak tak satupun masyarakat mau membayar pajak.

Cara lain memahami kurva laffer adalah dengan mengingat kembali pelajaran SMA yang membahas tentang fungsi. Fungsi didefinisikan sebagi relasi yang menghubungkan setiap anggota x dalam suatu himpunan yang disebut daerah asal (Domain) dengan suatu nilai tunggal f(x) dari suatu himpunan kedua yang disebut daerah kawan (Kodomain). Himpunan nilai yang diperoleh dari relasi tersebut disebut daerah hasil ( Range). Dalam konteks kurva Laffer yang menjadi variabel asal-nya (X) adalah tarif cukai sedangkan daerah hasil-nya (y) adalah penerimaan yang dalam hal ini adalah penerimaan cukai. Dari beberapa jenis fungsi satu diantaranya adalah fungsi kuadratik atau yang biasa di formulasikan Y=f{X}=aX2+bX+c

Seperti grafik diatas terdiri atas Sumbu X yang merupakan variabel tarif sedangkan sumbu Y yang merupakan variabel penerimaan. Dalam gambar tersebut terdapat garis yang membelah dua kurva sama besar. Garis tersebut adalah sumbu simetri (X= -b/2a)  atau dalam pelajaran matematika jika sumbu simetri itu di masukan ke fungsi parabola maka akan menghasilkan titik tertinggi. Dalam Theori Laffer titik ini menjadi titik krusial dalam kebijakan tarif perpajakan karena jika dinaikan lagi melebihi sumbu simetrinya maka yang didapatkan bukannya penambahan penerimaan melainkan penurunan.

Aplikasi Kurva Laffer

a.       Tarif Cukai Hasil Tembakau
Untuk dapat mengaplikasikan kurva laffer maka perlu memahami terlebih dahulu tarif cukai di indonesia. Tarif cukai di indonesia dibuat bervariasi dengan mempertimbangkan jenis rokok, jumlah produksi pabrik pertahunnya, serta berapa harga jual eceran (HJE) yang ditetapkan pemerintah.
Dari Jenis rokoknya pemerintah menetapkan delapan jenis rokok. Namun demikian dari delapan jenis tersebut tiga jenis yang kontribusinya 99% yaitu SKM (Sigaret Kretek Mesin), SPM (Sigaret Putih Mesin), dan Sigaret kretek Tangan (SKT). Untuk jenis SKM dan SPM Pabrik digolongkan 2 (dua) pabrik masing masing disebut Golongan I dan Golongan II. Sedangkan untuk jenis SKT digolongkan menjadi 4 (empat) golongan I adalah pabrik yang memproduksi lebih dari 2 miliar batang. Golongan II adalah lebih dari 500 juta batang hingga 2 miliar batang. Dan Golongan III adalah mereka yang produksi sampai dengan 500 juta batang. Itu berlaku untuk masing masing jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) masing masing disebut Golongan I, II, IIIA, dan IIIB.

Untuk masing masing jenis dan golongan masih dibedakan kembali berapa HJE per batang yang ditetapkan. Untuk SKM golongan I  dibuat single tarif yaitu Rp415 per batang dengan ketentuan HJE perbatang diatas Rp800 per batang. SKM Golongan II dibedakan menjadi dua tarif yaitu yang diatas Rp588 per batang sebesar Rp305 sedangkan untuk yang dibawah Rp265 tarifnya Rp per batang. Demikian seterusnya dan dapat dibaca dalam PMK 205/PMK.011/2014.

Menjadi pertanyaan adalah bagimana jika kebijakannya bersifat penyederhanaan golongan ataupun interval HJE. Atau bahkan dalam kaitan dengan PMK yang mengatur hubungan keterkaitan akibat kesamaan manajemen, ketergantungan bahan baku, sebagaimana dalam PMK 131/PMK.011/2013, maka perlu dicari beban cukai yang mewakili pabrik yang terkena dampak kenaikan tarifnya. Apakah effect theori laffer sudah terjadi akan semakin kelihatan.

b.      Mengaplikasikan Dalam Kurva Laffer

Untuk mengaplikasikan dalam kurva laffer, tarif cukai sebagaimana PMK 205/PMK. 11/2014 perlu hitung masing masing beban cukai yang mewakili. Tentu idealnya ada satu beban cukai yang mewakili. Namun demikian mengingat karakteristik masing-masing jenis rokok,-persaingan, respon terhadap kenaikan tarif cukai, selera konsumen, inflasi, nilai tukar, fluktuatif harga bahan baku, dan lainnya, maka minimal yang dihitung adalah beban cukai per jenis rokok. Ini sebagai variabel X dari kurva laffer. Penerimaan sebagai variabel Y juga demikian dibedakan per jenis rokok.

Yang menjadi pertanyaan kenapa tidak beban cukai seluruh rokok. Ini menghindarkan terjadinya bias akibat subtitusi effect dari konsumen ke jenis rokok satu sama lainnya. SKM ke SKT atau SPM atau sebaliknya. Karena jika ini terjadi penerimaan total akan tak cenderung naik dan effect kenaikan tarif cukai tak terdeteksi. Lebih akurat lagi jika dicari beban cukai per jenis golongan pabrik. Maka akan semakin nyata dampak kenaikan tarif cukai ke jenis dan golongan tersebut.

Apakah Tarif Maksimum Sudah Terjadi

             Penerimaan adalah tolak ukur apakah theori laffer sudah terbukti atau belum. Saat ini penerimaan cukai rokok masih mengalami peningkatan secara terus menerus. Tahun 2015 penerimaan cukai rokok mencapai Rp118,09 triliun. Ini meningkat 8,8% dari tahun 2013 yang Rp103,55 triliun. Padahal kenaikan tarif cukai selama dua tahun terakhir masing masing 8,7% sedangkan tahun 2013 sebesar 8,5%. Secara eksplisit dengan kenaikan tarif sebesar itu maka puncak tarif maksimimum kurva laffer belum tercapai. Karena penerimaan senantiasa mengalami kenaikan.

                Cara pandang seperti di atas adalah cara pandang global dan memang demikian adanya. Cara pandang yang lebih proporsional jika kita telusuri lebih detail yaitu per jenis dan golongan pabrik. Bahkan dari data yang ada tak sampai per jenis dan golongan rokok. Per jenis rokok saja sudah terbukti bahwa kenaikan tarif cukai telah berdampak pada penurunan penerimaan cukai. Perlu diketahun bahwa penerimaan cukai jenis SKT tahun 2015 dalam kisaran Rp14 triliun. Padahal pada tahun 2014 penerimaan cukai dari SKT Rp16 triliun. Jumlah ini mengalami penurunan -12,5% pada saat periode yang sama tarif cukai mengalami kenaikan 8%. Dengan demikian sesungguhnya tarif maksimum untuk jenis SKT sudah tercapai jika ditinjau dari Theori Laffer.

                Menjadi menarik jika pertanyaan dilanjutkan,”berarti tahun depan harus diturunkan agar penerimaan cukai jenis rokok SKT naik atau tetap?” Ini juga yang menjadi kelemahan dari theory laffer. Karena asumsi yang digunakan semua variabel independen (bahan baku, taste, growth ekonomi, nilai tukar, bahkan faktor internal pabrik yang bisa jadi menjadi penyebab utama) tercermin (akumulasi) dalam angka beban cukai itu sendiri. Karena untuk membahas mana yang dominan, maka perlu pembahasan lebih lanjut. Harus menggunakan analisa faktor yang bisa membedakan mana yang dominan. Atau minimal multiple regression yang bisa melihat faktor determinasi masing masing variabel independen. Hanya saja tentu bukan dibahas di theori laffer.


***

Aceh,13 April 2015

No comments:

Post a Comment