Laffer Curve Pada Kebijakan Tarif Cukai Rokok
Oleh: Sunaryo*
Oleh: Sunaryo*
Pada tanggal
20 Maret 2015 di Kantor Pusat DJBC diadakan Forum
Discussion Group (FGD) Implementasi Theori Laffer Dalam Kebijakan Cukai.
Forum yang digelar oleh Direktorat Cukai tersebut mendatangkan penemu theorinya
yaitu Arthur B. Laffer. Ph.D. Langkah ini merupakan terobosan sangat bagus
untuk perkembangan kebijakan cukai rokok. Selain itu diharapan dapat
memperjelas seperti apa aplikasinya dalam kebijakan cukai di Indonesia,
terutama untuk cukai hasil tembakau (rokok). Kita mengetahui cukai rokok merupakan andalan
penerimaan cukai karena kontribusinya diatas 90%. Jika Salah menetapkan kebijakan
bisa sebaliknya yang didapat:-bukannya kenaikan penerimaan melainkan penurunan.
Pertanyaannya apakah mungkin terjadi? Apakah sudah terjadi dan kalau belum,
kapan itu terjadi? Tulisan ini mencoba memberi jawaban atas aplikasi Theory Laffer dalam kebijakan cukai
rokok.
Kurva Laffer Dan
Fungsi Parabola
Jika mengambil teks penjelasan dari Laffer, memahami
kurva laffer secara gampang yaitu
terdapat dua titik ekstrim tarif pajak pertama disebelah kiri adalah 0%. Pada
situasi ini negara tak akan mendapatkan penerimaan apapun karena tarif pajak
0%. Titik ekstrim berikutnya adalah tarif
100%. Di sini pun negara tak akan mendapatkan penerimaan sama sekali
karena tarif pajak terlalu tinggi yang berdampak tak satupun masyarakat mau membayar
pajak.
Cara lain memahami kurva laffer adalah dengan mengingat
kembali pelajaran SMA yang membahas tentang fungsi. Fungsi didefinisikan sebagi
relasi yang menghubungkan setiap anggota x dalam suatu himpunan yang disebut
daerah asal (Domain) dengan suatu nilai tunggal f(x) dari suatu himpunan kedua
yang disebut daerah kawan (Kodomain). Himpunan nilai yang diperoleh dari relasi
tersebut disebut daerah hasil ( Range). Dalam konteks kurva Laffer yang
menjadi variabel asal-nya (X) adalah tarif cukai sedangkan daerah hasil-nya (y)
adalah penerimaan yang dalam hal ini adalah penerimaan cukai. Dari beberapa
jenis fungsi satu diantaranya adalah fungsi kuadratik atau yang biasa di
formulasikan Y=f{X}=aX2+bX+c
Seperti grafik diatas terdiri atas Sumbu X yang merupakan
variabel tarif sedangkan sumbu Y yang merupakan variabel penerimaan. Dalam
gambar tersebut terdapat garis yang membelah dua kurva sama besar. Garis
tersebut adalah sumbu simetri (X= -b/2a) atau dalam pelajaran matematika jika sumbu
simetri itu di masukan ke fungsi parabola maka akan menghasilkan titik
tertinggi. Dalam Theori Laffer titik
ini menjadi titik krusial dalam kebijakan tarif perpajakan karena jika dinaikan
lagi melebihi sumbu simetrinya maka yang didapatkan bukannya penambahan
penerimaan melainkan penurunan.
Aplikasi Kurva Laffer
a. Tarif Cukai Hasil Tembakau
Untuk dapat mengaplikasikan kurva laffer maka perlu
memahami terlebih dahulu tarif cukai di indonesia. Tarif cukai di indonesia
dibuat bervariasi dengan mempertimbangkan jenis rokok, jumlah produksi pabrik pertahunnya,
serta berapa harga jual eceran (HJE) yang ditetapkan pemerintah.
Dari Jenis rokoknya pemerintah menetapkan delapan jenis rokok.
Namun demikian dari delapan jenis tersebut tiga jenis yang kontribusinya 99%
yaitu SKM (Sigaret Kretek Mesin), SPM (Sigaret Putih Mesin), dan Sigaret kretek
Tangan (SKT). Untuk jenis SKM dan SPM Pabrik digolongkan 2 (dua) pabrik masing
masing disebut Golongan I dan Golongan II. Sedangkan untuk jenis SKT digolongkan
menjadi 4 (empat) golongan I adalah pabrik yang memproduksi lebih dari 2 miliar
batang. Golongan II adalah lebih dari 500 juta batang hingga 2 miliar batang.
Dan Golongan III adalah mereka yang produksi sampai dengan 500 juta batang. Itu
berlaku untuk masing masing jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih
Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) masing masing disebut Golongan I,
II, IIIA, dan IIIB.
Untuk masing masing jenis dan golongan masih dibedakan
kembali berapa HJE per batang yang ditetapkan. Untuk SKM golongan I dibuat single tarif yaitu Rp415 per batang
dengan ketentuan HJE perbatang diatas Rp800 per batang. SKM Golongan II dibedakan
menjadi dua tarif yaitu yang diatas Rp588 per batang sebesar Rp305 sedangkan
untuk yang dibawah Rp265 tarifnya Rp per batang. Demikian seterusnya dan dapat
dibaca dalam PMK 205/PMK.011/2014.
Menjadi pertanyaan adalah bagimana jika kebijakannya
bersifat penyederhanaan golongan ataupun interval HJE. Atau bahkan dalam kaitan
dengan PMK yang mengatur hubungan keterkaitan akibat kesamaan manajemen,
ketergantungan bahan baku, sebagaimana dalam PMK 131/PMK.011/2013, maka perlu
dicari beban cukai yang mewakili pabrik yang terkena dampak kenaikan tarifnya. Apakah
effect theori laffer sudah terjadi akan semakin kelihatan.
b. Mengaplikasikan Dalam Kurva Laffer
Untuk mengaplikasikan dalam kurva laffer, tarif cukai
sebagaimana PMK 205/PMK. 11/2014 perlu hitung masing masing beban cukai yang
mewakili. Tentu idealnya ada satu beban cukai yang mewakili. Namun demikian
mengingat karakteristik masing-masing jenis rokok,-persaingan, respon terhadap
kenaikan tarif cukai, selera konsumen, inflasi, nilai tukar, fluktuatif harga bahan
baku, dan lainnya, maka minimal yang dihitung adalah beban cukai per jenis rokok.
Ini sebagai variabel X dari kurva laffer. Penerimaan sebagai variabel Y juga
demikian dibedakan per jenis rokok.
Yang menjadi pertanyaan kenapa tidak beban cukai seluruh rokok.
Ini menghindarkan terjadinya bias akibat subtitusi effect dari konsumen ke
jenis rokok satu sama lainnya. SKM ke SKT atau SPM atau sebaliknya. Karena jika
ini terjadi penerimaan total akan tak cenderung naik dan effect kenaikan tarif
cukai tak terdeteksi. Lebih akurat lagi jika dicari beban cukai per jenis
golongan pabrik. Maka akan semakin nyata dampak kenaikan tarif cukai ke jenis
dan golongan tersebut.
Apakah Tarif Maksimum
Sudah Terjadi
Penerimaan adalah tolak ukur
apakah theori laffer sudah terbukti atau belum. Saat ini penerimaan cukai rokok
masih mengalami peningkatan secara terus menerus. Tahun 2015 penerimaan cukai rokok
mencapai Rp118,09 triliun. Ini meningkat 8,8% dari tahun 2013 yang Rp103,55
triliun. Padahal kenaikan tarif cukai selama dua tahun terakhir masing masing 8,7%
sedangkan tahun 2013 sebesar 8,5%. Secara eksplisit dengan kenaikan tarif
sebesar itu maka puncak tarif maksimimum kurva laffer belum tercapai. Karena
penerimaan senantiasa mengalami kenaikan.
Cara pandang seperti di atas
adalah cara pandang global dan memang demikian adanya. Cara pandang yang lebih
proporsional jika kita telusuri lebih detail yaitu per jenis dan golongan
pabrik. Bahkan dari data yang ada tak sampai per jenis dan golongan rokok. Per
jenis rokok saja sudah terbukti bahwa kenaikan tarif cukai telah berdampak pada
penurunan penerimaan cukai. Perlu diketahun bahwa penerimaan cukai jenis SKT
tahun 2015 dalam kisaran Rp14 triliun. Padahal pada tahun 2014 penerimaan cukai
dari SKT Rp16 triliun. Jumlah ini mengalami penurunan -12,5% pada saat periode yang sama tarif cukai mengalami
kenaikan 8%. Dengan demikian sesungguhnya tarif maksimum untuk jenis SKT sudah
tercapai jika ditinjau dari Theori Laffer.
Menjadi menarik jika pertanyaan
dilanjutkan,”berarti tahun depan harus diturunkan agar penerimaan cukai jenis rokok
SKT naik atau tetap?” Ini juga yang menjadi kelemahan dari theory laffer.
Karena asumsi yang digunakan semua variabel independen (bahan baku, taste,
growth ekonomi, nilai tukar, bahkan faktor internal pabrik yang bisa jadi
menjadi penyebab utama) tercermin (akumulasi) dalam angka beban cukai itu
sendiri. Karena untuk membahas mana yang dominan, maka perlu pembahasan lebih
lanjut. Harus menggunakan analisa faktor yang bisa membedakan mana yang
dominan. Atau minimal multiple regression yang bisa melihat faktor determinasi
masing masing variabel independen. Hanya saja tentu bukan dibahas di theori
laffer.
***
Aceh,13 April 2015
No comments:
Post a Comment