28 Apr 2015

Karena Cukai Dilepaskan Bukan Dipertahankan

KARENA CUKAI DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN
Oleh: Sunaryo*



Alkisah, -untuk mengawali tulisan ini, Umar Bayam seorang lulusan Program Diploma Keuangan (PRODIP Bea dan Cukai menyelesaikan studinya dengan tepat waktu. Minggu pertama seusai penempatan ia memasuki Kantor Besar (Kantor Pusat) DJBC di Rawamangun dengan semangat mengenakan pakaian kebesarannya yakni Seragam Bea Cukai (Bea Cukai dulu dikenal Korps Abu-Abu). 

Begitu sampai di depan Kantor Besar merekahlan raut wajahnya karena ini hari adalah awal menjadi Pegawai Bea dan Cukai atau Douane, begitu Bapaknya di kampung kalau membanggakan anaknya. 

"Kerja dimana Dik...?"

"Di Kantor  situ Pak....." sembari menunjuk sebuah gedung yang didepannya terpampang pesawat capung.

"Ngurusi apa Dik.....?"
Dengan tangkas dijawabnya,"Ngurusi rokok..." dengan tegas
Mendengar jawabab tersebut si penanya melengos sembari bergumam,"Kirain Bea Cukai!"

Ada kekagetan sang pegawai mendengan jawab tersebut. Terlebih ini adalah minggu pertama kerja di Kantor Besar Bea Cukai. Lalu kenapa saya dibilang bukan Bea Cukai? Apakah rokok bukan urusan bea Cukai? Kisah pertama ditutup dengan menurunnya semangat sang pegawai mendapati kenyataaan ditempatkan di bidang yang kurang bergengsi.

Lain pula kisah Misdar bin Misbar yang telah lama menggeluti dunia cukai. Sekali waktu ia berdiskusi dengan temen yang ditempatkan di pengawasan. Lalu berdialog terkait kenapa ada perbedaan ekspresi pegawai yang ditempatkan di bidang cukai dan ditempatkan di bidang pengawasan. Perbedaanya sangat mencolok. Pertama begitu skep diterima maka pegawai yang ditempatkan di bidang cukai akan bilang,"Yah, di cukai" sementara mereka yang di bidang pengawasan akan berekspresi "mantap komandan!". Setelahnya belum selesai karena undangan dan ajakan untuk minta ditraktir pegawai yang ditempatkan di bidang pengawasan terus mengalir. 

Misdar bin Misbar memberanikan diri bertanya ke senior kenapa fenomena ini terjadi. Lalu mereka berdialog sepanjang jalan dan sembari menaiki lift kantor besar delapan lantai. Tat kala misdar bin Misbar turun di lantai 4 (empat), sang senior mencegahnya,"Kalau kamu ingin tahu jawaban kenapa orang ditempatkan di bagian pengawasan bergembira sedangkan ditempatkan di cukai biasa saja, jangan turun disini. kita naik dulu ke lantai delapan!". Misdar pun mengikuti jakannya. lalu begitu turun lift lantai 8 dilihatkan pemandangan gedung kantor besar seluruhnya. Maka nampak semua pemandangan indah dari lantai Ditengah halaman nan luas itu nampak bendera merah putih berkibar gagah ditengahnya. "Sudah lihat?" tanya sang senior ke Misdar. "Ayoo turun ke kantormu.." ajaknya.

Maka Misdar kini menuruni lift dan sampailah di lantai 4 (empat) dimana ia bertugas di bidang cukai. "Kamu lihat bendera disini?" tanya sang senior.

"Tidak...!" jawab misdar pendek
"Kapan bisa lihat..?" tanya senior
"Kalau pas dipasang di tengah..."
"Nah itulah jawabannya Dar..."
"Kenapa...?" Misdar bingung

"Artinya kalau orang ditempatkan di bidang cukai atau di lantai 4 (empat) itu sama saja benderanya setengah tiang alias berduka...ha ha ha.." sang senior sambil tertawa menjelaskan...Keduanya pun tertawa bersama menertawakan fenomena kenapa begitu pegawai ditempatkan dicukai menjadi berkabung. Ndak tahunya karena benderanya setengah tiang.

Tentulah itu sebuah anekdot yang hidup dan berkembang karena situasi dan kondisi sesuai dengan zamannya. pegawai yang ditempatkan di bidang cukai sering tak berasa bangga atau cenderung menjadi second citizen di DJBC bukanlah perasaan yang bisa diabaikan begitu saja. Jauh sebelum reformasi situasi ini sangat terasa dimana kebanyakan pegawai yang ditempatkan di bidang cukai adalah para senior yang menjelang pensiun. Akibatnya satu subdit potensi cukai yang seharusnya menjadi litbang ekstensifikasi pun di likuidasi karena ndak ada hasil yang dikaji. Bisa jadi hal tersebut yang menjadikan pungutan cukai sampai saat ini sangat sangat sempit yaitu hanya tiga jenis barang: rokok, alkohol, dan minuman beralkohol.

Bukti lain yang memprihatinkan adalah kala timbulnya tim bersama operasi penanggulangan  rokok ilegal. Penulis merasa iba mendapati rapat di berbagai departemen gigih membahas bagaimana membrantas rokok ilegal. Leader saat itu adalah Departemen perindustrian dibawah Fahmi Idris sebagaimenterinya yang sangat getol membahas persoalan rokok. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur dibuatkan kesepakatan bersama yang melibatkan Polri, Deperin, Depkeu, dan pemda. Saat itu praktis DJBC tersita persoalan Tanjung Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas, dan Batam. Cukai hanya kami yang berjalan kesana kemari mewakili. 

Dalam satu kesempatan sosialisasi di kantor pusat penulis merasa perlu membuat statemen akibat kurangnya antusiasisme pseserta sosialisasi terkait dengan bidang cukai,"Saya sedih ketika rapat di Deperin, Depdag, Deptan, dan Depkes, juga BKF. Karena praktis mereka care semua dengan kita sementara DJBC sendiri praktis sekedarnya saja. Jangan salah kalau kelak akan muncul Direktorat Jenderal Cukai. Dan saya adalah Dirjen Cukainya...

Dan setelah hampir sepuluh tahun itu, kemungkinan candaan penulis tersebut akan menjadi kenyataan setelah hasil keputusan rapat menetapkan bahwa per tahun 2017 bidang Cukai menjadi kewenangan DJP. Penulis bercampur aduk perasaaanya: sedih, kaget, heran, dan agak emosional mendengar argumen,"Di luar negeri memang cukai tidak dibawah Customs"
Maaf penulis tak mau mengutip ungkapan salah satu sosiolog,"Kalau pernah menjadi inlander biasanya menganggap apa yang di luar negeri segalanya

Penulis memilih mengutip ungkapan Wak Haji Rhoma Irama,"Saringlah dulu apa yang datangnya dari Barat. Jangan asal telan.  Ambil isi dan campakkanlah kulitnya." Ingin rasanya membuka isi kepalanya dan menanyakan kenapa argumennya. 

Hanya kembali kalau sudah menjadi keputusan terlebih yang memutuskan adalah atasan maka penulis pun meletakan ukuran kepantasan. Dan semua usulan sebatas penulis pun hanya tulisan.  Ada ungkapan bijak ketika penulis diskusi dengan senior yang kebetulan lama di bidang pengawasan,"Kalau sudah jelas sinyalnya tidak ada upaya mempertahankan, maka dilepaskan! Dan biar tak sakit hati, maka di-ikhlaskan!"

Beberapa orang menelepon penulis agar mengirim bahan peraturan cukai sekomplitnya melalui email. Dia mau ikut ke DJP bahkan kalau seleksi pun mau. Kembali campur aduk perasaan penulis menerima animo ini. hanya ingat kata senior saya,"Ikhlaskan!"

Atau barang kali mengambil oportuntis di bidang ini. Bukankah dimasanya Anwar Supriadi menjabat Dirjen Bea Cukai kalau ketemu dengan Ibu Sri Mulyani suka bercanda ketika penulis datang,"Ini Dirjen Cukai datang Bu. Saya kan Dirjen Pabean."candanya. Bukan maksud melebihkan apa yang diungkapkan. Hanya siapa tahu candaan menjadi kenyataan. Apalagi candaan seorang Dirjen.

Harapan penulis kalau sampai benar bidang cukai gabung di DJP janganlah ungkapan ini terulang lagi. Dikalangan pegawai yang menekuni bidang cukai kali segala usulan banyak ditolak sering muncul ungkapan sarkastis,"Cukai itu ibarat bayi lahir  adalah cacat.  Karenanya menjadi ndak menarik dipandang dan disawang. Sudah cacat bayinya lahirnya juga sungsang" Sarkastis memang. Tapi realitas sering dibuat bahan pembicaraan.

"Masih untung bukan anak haram!" kata saya menimpali kala itu. Yang terakhir ini pasti penulis bercanda. Habis ingat lagunya Ida Laela...

***
                                                                                             * Penulis pemerhati bidang cukai

2 comments:

  1. hehehe.. menarik ndan tulisannya, ijin share..
    salam hormat dr lantai 4 :)

    sukmanahadi.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Monggo Mas. Dipersilahkan. Smoga menjadi bahan pemikiran bersama.

      Delete