KARENA CUKAI
DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN
Oleh: Sunaryo*
Alkisah,
-untuk mengawali tulisan ini, Umar Bayam seorang lulusan Program Diploma
Keuangan (PRODIP Bea dan Cukai menyelesaikan studinya dengan tepat waktu.
Minggu pertama seusai penempatan ia memasuki Kantor Besar (Kantor Pusat) DJBC
di Rawamangun dengan semangat mengenakan pakaian kebesarannya yakni Seragam Bea
Cukai (Bea Cukai dulu dikenal Korps Abu-Abu).
Begitu sampai
di depan Kantor Besar merekahlan raut wajahnya karena ini hari adalah awal
menjadi Pegawai Bea dan Cukai atau Douane, begitu Bapaknya di kampung kalau
membanggakan anaknya.
"Kerja
dimana Dik...?"
"Di Kantor
situ Pak....." sembari menunjuk sebuah gedung yang didepannya terpampang
pesawat capung.
"Ngurusi
apa Dik.....?"
Dengan tangkas
dijawabnya,"Ngurusi rokok..." dengan tegas
Mendengar
jawabab tersebut si penanya melengos sembari bergumam,"Kirain Bea
Cukai!"
Ada kekagetan
sang pegawai mendengan jawab tersebut. Terlebih ini adalah minggu pertama kerja
di Kantor Besar Bea Cukai. Lalu kenapa saya dibilang bukan Bea Cukai? Apakah
rokok bukan urusan bea Cukai? Kisah pertama ditutup dengan menurunnya semangat
sang pegawai mendapati kenyataaan ditempatkan di bidang yang kurang bergengsi.
Lain pula
kisah Misdar bin Misbar yang telah lama menggeluti dunia cukai. Sekali waktu ia
berdiskusi dengan temen yang ditempatkan di pengawasan. Lalu berdialog terkait
kenapa ada perbedaan ekspresi pegawai yang ditempatkan di bidang cukai dan
ditempatkan di bidang pengawasan. Perbedaanya sangat mencolok. Pertama begitu
skep diterima maka pegawai yang ditempatkan di bidang cukai akan
bilang,"Yah, di cukai" sementara mereka yang di bidang pengawasan
akan berekspresi "mantap komandan!". Setelahnya belum selesai karena
undangan dan ajakan untuk minta ditraktir pegawai yang ditempatkan di bidang
pengawasan terus mengalir.
Misdar bin
Misbar memberanikan diri bertanya ke senior kenapa fenomena ini terjadi. Lalu
mereka berdialog sepanjang jalan dan sembari menaiki lift kantor besar delapan
lantai. Tat kala misdar bin Misbar turun di lantai 4 (empat), sang senior
mencegahnya,"Kalau kamu ingin tahu jawaban kenapa orang ditempatkan di
bagian pengawasan bergembira sedangkan ditempatkan di cukai biasa saja, jangan
turun disini. kita naik dulu ke lantai delapan!". Misdar pun
mengikuti jakannya. lalu begitu turun lift lantai 8 dilihatkan pemandangan
gedung kantor besar seluruhnya. Maka nampak semua pemandangan indah dari lantai
Ditengah halaman nan luas itu nampak bendera merah putih berkibar gagah
ditengahnya. "Sudah lihat?" tanya sang senior ke Misdar. "Ayoo
turun ke kantormu.." ajaknya.
Maka Misdar
kini menuruni lift dan sampailah di lantai 4 (empat) dimana ia bertugas di
bidang cukai. "Kamu lihat bendera disini?" tanya sang senior.
"Tidak...!"
jawab misdar pendek
"Kapan
bisa lihat..?" tanya senior
"Kalau
pas dipasang di tengah..."
"Nah
itulah jawabannya Dar..."
"Kenapa...?"
Misdar bingung
"Artinya
kalau orang ditempatkan di bidang cukai atau di lantai 4 (empat) itu sama saja
benderanya setengah tiang alias berduka...ha ha ha.." sang senior sambil
tertawa menjelaskan...Keduanya pun tertawa bersama menertawakan fenomena kenapa
begitu pegawai ditempatkan dicukai menjadi berkabung. Ndak tahunya karena
benderanya setengah tiang.
Tentulah itu
sebuah anekdot yang hidup dan berkembang karena situasi dan kondisi sesuai
dengan zamannya. pegawai yang ditempatkan di bidang cukai sering tak berasa
bangga atau cenderung menjadi second citizen di DJBC bukanlah perasaan yang
bisa diabaikan begitu saja. Jauh sebelum reformasi situasi ini sangat terasa
dimana kebanyakan pegawai yang ditempatkan di bidang cukai adalah para senior yang
menjelang pensiun. Akibatnya satu subdit potensi cukai yang seharusnya menjadi
litbang ekstensifikasi pun di likuidasi karena ndak ada hasil yang dikaji. Bisa
jadi hal tersebut yang menjadikan pungutan cukai sampai saat ini sangat sangat
sempit yaitu hanya tiga jenis barang: rokok, alkohol, dan minuman beralkohol.
Bukti lain
yang memprihatinkan adalah kala timbulnya tim bersama operasi
penanggulangan rokok ilegal. Penulis
merasa iba mendapati rapat di berbagai departemen gigih membahas bagaimana
membrantas rokok ilegal. Leader saat itu adalah Departemen perindustrian
dibawah Fahmi Idris sebagaimenterinya yang sangat getol membahas persoalan
rokok. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur dibuatkan kesepakatan bersama yang
melibatkan Polri, Deperin, Depkeu, dan pemda. Saat itu praktis DJBC tersita
persoalan Tanjung Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas, dan Batam. Cukai hanya
kami yang berjalan kesana kemari mewakili.
Dalam satu
kesempatan sosialisasi di kantor pusat penulis merasa perlu membuat statemen
akibat kurangnya antusiasisme pseserta sosialisasi terkait dengan bidang
cukai,"Saya sedih ketika rapat di Deperin, Depdag, Deptan, dan Depkes,
juga BKF. Karena praktis mereka care semua dengan kita sementara DJBC sendiri
praktis sekedarnya saja. Jangan salah kalau kelak akan muncul Direktorat
Jenderal Cukai. Dan saya adalah Dirjen Cukainya..."
Dan setelah
hampir sepuluh tahun itu, kemungkinan candaan penulis tersebut akan menjadi
kenyataan setelah hasil keputusan rapat menetapkan bahwa per tahun 2017 bidang
Cukai menjadi kewenangan DJP. Penulis bercampur aduk perasaaanya: sedih, kaget,
heran, dan agak emosional mendengar argumen,"Di luar negeri memang cukai tidak
dibawah Customs"
Maaf penulis
tak mau mengutip ungkapan salah satu sosiolog,"Kalau pernah menjadi
inlander biasanya menganggap apa yang di luar negeri segalanya"
Penulis
memilih mengutip ungkapan Wak Haji Rhoma Irama,"Saringlah dulu apa yang
datangnya dari Barat. Jangan asal telan.
Ambil isi dan campakkanlah kulitnya." Ingin rasanya membuka isi
kepalanya dan menanyakan kenapa argumennya.
Hanya kembali
kalau sudah menjadi keputusan terlebih yang memutuskan adalah atasan maka
penulis pun meletakan ukuran kepantasan. Dan semua usulan sebatas penulis pun
hanya tulisan. Ada ungkapan bijak ketika
penulis diskusi dengan senior yang kebetulan lama di bidang
pengawasan,"Kalau sudah jelas sinyalnya tidak ada upaya mempertahankan,
maka dilepaskan! Dan biar tak sakit hati, maka di-ikhlaskan!"
Beberapa orang
menelepon penulis agar mengirim bahan peraturan cukai sekomplitnya melalui
email. Dia mau ikut ke DJP bahkan kalau seleksi pun mau. Kembali campur aduk
perasaan penulis menerima animo ini. hanya ingat kata senior
saya,"Ikhlaskan!"
Atau barang
kali mengambil oportuntis di bidang ini. Bukankah dimasanya Anwar Supriadi
menjabat Dirjen Bea Cukai kalau ketemu dengan Ibu Sri Mulyani suka bercanda
ketika penulis datang,"Ini Dirjen Cukai datang Bu. Saya kan Dirjen
Pabean."candanya. Bukan maksud melebihkan apa yang diungkapkan. Hanya
siapa tahu candaan menjadi kenyataan. Apalagi candaan seorang Dirjen.
Harapan
penulis kalau sampai benar bidang cukai gabung di DJP janganlah ungkapan ini
terulang lagi. Dikalangan pegawai yang menekuni bidang cukai kali segala usulan
banyak ditolak sering muncul ungkapan sarkastis,"Cukai itu ibarat bayi
lahir adalah cacat. Karenanya menjadi ndak menarik dipandang dan
disawang. Sudah cacat bayinya lahirnya juga sungsang" Sarkastis memang. Tapi
realitas sering dibuat bahan pembicaraan.
"Masih
untung bukan anak haram!" kata saya menimpali kala itu. Yang terakhir ini
pasti penulis bercanda. Habis ingat lagunya Ida Laela...
***
* Penulis pemerhati bidang cukai
hehehe.. menarik ndan tulisannya, ijin share..
ReplyDeletesalam hormat dr lantai 4 :)
sukmanahadi.blogspot.com
Monggo Mas. Dipersilahkan. Smoga menjadi bahan pemikiran bersama.
Delete