12 Sept 2014

Menggali Potensi Ekstensifikasi Cukai





Menggali Potensi Ekstensifikasi Cukai
   Oleh: Sunaryo*
(Harian KONTAN 4 September 2014)

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Andin Hadiyanto mengatakan, “BKF selaku institusi yang menggodog seluruh peraturan fiskal sudah menyelesaikan formula perhitungan cukai pada minuman soda. Sudah diajukan ke Menteri Keuangan. Setelah itu ke presiden,’’ (www.riaupos.com, 5 Maret 2014). Padahal  rencana ekstensifikasi objek kena cukai tersebut sudah disampaikan Kementerian Keuangan sejak 2012 lalu. Namun kenapa belum kelihatan progres yang nyata?

Diamandemennya Undang-Undang (UU) nomor 11 Tahun 1995 menjadi UU Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai, salah satu yang paling diharapkan adalah mempermudah langkah ekstensifikasi. Pemerintah jokowi harus menangkap sinyal ini sebagai sumber alternatif penerimaan perpajakan. Ini sejalan dengan saran Presiden SBY kala memaparkan APBN 2015 agar presiden baru menggali sumber penerimaan perpajakan. 

Kenapa Ekstensifikasi Cukai Selalu Terhenti
Tahun 1997 wacana ekstensifikasi cukai atas semen dan detergen mengemuka. Semen masuk kategori layak kena cukai karena dampak negatif terhadap lingkungan agar ada efisiensi pemakaian sumber daya alam. Sumber daya alam kategori barang yang terbatas lama pembaharuannya dan perlu dikendalikan eksploitasinya. Usulan pengenaan cukai ini tidak sampai jauh melainkan sebatas kajian. Kendala pengenaan cukai atas semen adalah adanya pertentangan dengan kebijakan kebijakan pemerintah di bidang pembangunan rumah terjangkau. Usulan cukai pun deterjen bernasib sama dengan semen meskipun sebenarnya karakteristiknya masuk kategori perlu dikendalikan karena limbahnya. Namun ketika pabrik deterjen memaparkan dengan inovasi yang canggih deterjen tidak lagi mencemari lingkungan, usulan pengenaan cukainya pun menghilang. 

Berikutnya adalah produk cakram optik seperti compact disk (CD), video compact disk (VCD), digital video disk (DVD) dan laser disc (LD). Tahun 2004 produk ini diusulkan untuk dikenakan cukai. Latar belakang yang mendorong pengenaanya adalah merajalelanya pembajakan karya musisi yang mana cakram optik menjadi medianya. Diharapkan dengan dilekati pita cukai sebagai instrumen pengawasan di pasaran,  pembajakan bisa terkurangi. 

Usulan ini menuai penolakan sangat keras. Melalui Forum Komunikasi Asosiasi Industri Rekaman (FKAIR) dengan juru bicara Arnell Affandi,”Usul pemerintah tidak logis karena muncul pertentangan antara UU Cukai dengan UU Hak Cipta” Sebagaimana diketahui perihal pembajakan telah diatur dalam UU Hak Cipta. Yang lebih “hebat” lagi tak cukup assosiasi industri rekaman. Departemen Perindustrian dan Perdagangan pun menolak Melalui Surat nomor 522/MPP/VIII/2004 yang ditujukan kepada Presiden Megawati. Isi surat tersebut,“Kami berpendapat bahwa rencana pengenaan cukai terhadap kaset dan cakram optik isi dalam rangka pencegahan pembajakan tidak diperlukan lagi.” Dan kebijakan yang sudah disepakati Departemen Keuangan dengan Komisi V DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) khirnya dibatalkan. Padahal proses penyusunan rancangan peraturan pemerintah telah berjalan cukup panjang utuk menindaklanjuti kesepakatan ini.

Yang paling dekat adalah wacana pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi. Usulan ini mengerucut setelah mengkaji calon obyek cukai lain seperti telepon seluler, emisi kendaraan bermotor, berlian, dan limbah pabrik. Namun demikian progresnya belum juga ssmpai dibahas secara khusus dengan DPR. Hanya di media massa yang sebagian besar menolak. Bahkan  Ketua Komisi XI DPR, Emir Moeis pun menolak,”Pemerintah perlu mengkaji dan melakukan riset lebih mendalam rencana pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi,” (Sindonews.com, 28 Januari 2013).
Ada lima strategi ditempuh agar rencana pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi bisa terlaksana. Pertama, pendefinisian minuman ringan berkarbonasi harus jelas mengacu Pasal 2 UU Cukai  agar landasan pengenaan cukai benar secara material. Kriteria dalam UU cukai yang tepat sebagai landasan pemungutan adalah konsumsi barang tersebut perlu dikendalikan serta pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan. 

Bahan adiktif yang terkandung dalam minuman ringan berkarbonasi terdiri pemnis buatan, zat pewarna, dan zat pengawet. Dibalik kesederhanaan komposisinya, banyak yang dapat menimbukan dampak negatif bagi kesehatan. Dampak tersebut memang tak seketika tetap jangka panjang apabila mengkonsumsinya apalagi berlebihan. Rasa Manis yang terdapat dalam satu kaleng minuman ringan bersoda setara dengan tujuh sendok teh gula pasir (Jacobson, 2003). Akibat konsumsi berlebihan dapat menyebabkan obesitas, diabetes mellitus, batu ginjal, osteoporosis, dan kerusakan gigi (Departemen Kesehatan, 2008). Fakta ilmiah ini sebenarnya sangat kuat untuk mendasari pegenaan cukai minuman ringan berkarbonasi

Kedua adalah faktor kelaziman pengenaanya di negara lain. UU Nomor 39 Tahun 2007 cukup visioner karena mengadopsi praktik dan terori cukai internasional. Oleh karenanya apa yang dipungut cukai di negara maju secara prinsip dapat dikenakan juga di Indonesia. Negara-negara yang mengenakan cukai minuman bersoda adalah Finlandia, Perancis, Jerman, India, dan Jepang. Kiranya Indonesia bisa mencontoh praktik pemungutannya pada negara tersebut.

Faktor ketiga adalah potensi cukainya. Untuk menghitung potensinya data digunakan tahun 2011. Penduduk indonesia saat itu 245,6 juta jiwa (The Economist, 2011). Rata-rata konsumsi minuman berkarbonasi adalah 0,568 ml perkapita per tahun (Susenas BPS, tahun 2008-2009). Total konsumsi per tahun adalah berarti 1.818,2 miliar ml. Jika rata-rata isi kemasan minuman bersoda dipasaran adalah 330 ml (kaleng) maka per tahun 5.509,8 juta kaleng. Jika harga per kaleng adalah Rp4200,  Nilai konsumsi Rp23,1 triliun per tahun. Jika asumsi tarif cukai yang dikenakan adalah 20% maka potensi penerimaan cukai minuman berkarbonasi mencapai Rp4,6 triliun.  Belum termasuk pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Total potensi perpajakan dari Cukai dan PPN bisa mencapai mencapai Rp 7 triliun. 

Keempat adalah faktor kritis yaitu faktor politis. Pengenaan obyek cukai baru harus dimasukan dalam UU APBN dan harus disetujui DPR. Perlu diketahui bahwa ekstensifikasi minuman ringan berkarbonansi tahun 2012, DPR sangat intensif meminta pemerintah mengkajinya. Setiap pembahasan APBN selalu ditanyakan. Namun demikian diujung perjalanan, DPR pulalah yang menghentikan.

Keempat faktor tersebut harus dipersiapkan benar oleh pemerintahan mendatang agar minuman ringan berkarbonansi dapat dikenakan cukai. Terlebih karena faktor teknis administratif pemungutan cukai atas minuman berkarbonasi relatif aplikatif dilapangan (berbeda dengan cukai telepon seluler, emisi gas, atau berlian). Sistem tarifnya bisa dibuat didasarkan kadar karbonasinya atau bisa juga bisa per kaleng. Bisa juga advalorum didasarkan harga per kaleng. Kalau melihat rentang harga yang variasinya tidan banyak, tarif spesifik lebih mudah. Quantitative measurement sebagai kontrol fisik cukai bisa dengan penganturan kemasan kalengnya: nama pabrik , kode produksi, dan lainnya.

Ketika beban subsidi yang membengkak, kiranya Pemerintaan Jokowi harus memanfaatkan momen krusial ini sebagai salah satu “penambal” subsidi. Landasan ilmiah, legal, dan juga potensi penerimaan yang signifikan tentu sangat sayang diabaikan. Best practice negara lain juga memadai lalu apa yang mau dipersoalkan. Kalau penolakan dari assosiasi minuman ringan itu sebuah keniscayaan. Bukankah pada prinsipnya tak ada pihak yang “ikhlas” membayar pajak. Dipertimbangkan boleh menjadi penghalang jangan. 

Ada peluang dalam kaitan faktor kritis yaitu faktor politis. Anggota DPR dimasa awal semoga masih dalam masa unjuk aktualisasi. Semoga masih dalam periode memperjuangkan “jeneng” dari pada “jenang”. Tentunya jika ada usulan untuk menutup subsidi BBM telah dikaji mendalam serta aplikabel dijalankan dan lazim di negara lain, terus apalagi yang dipersoalkan? Terlebih pemilu masih jauh sehingga kemungkinan terjadi kebijakan yang kalau meniru sebuah lagu,”Kau yang memulai dan kau yang mengakhiri” oleh DPR tidak terulang lagi. Semoga.
 ***

No comments:

Post a Comment