29 Apr 2015

KARENA CUKAI DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN (Bagian 2)



KARENA CUKAI DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN
(Bagian 2)
Oleh: Sunaryo*



Pertanyaan yang muncul manakala anda membaca tulisan pertama adalah: apa sih yang melandasi alasan DJBC tidak mempertahankan?

Mari penulis membuka berbagai kejadian yang menjadikan penulis memberanikan open di media pribadi ini. Kekurang care-an terhadap bidang ini menjadikan banyak kebijakan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan undang undang.

Yang Pertama terkait ekstensifikasi cukai. Kebijakan ini pada akhirnya terlepas dari bea dan cukai. Kalau ada orang yang paling “mengen”,-bahasa inggris banyumas-an, adalah penulis. Pertama secara Undang undang jelas dalam Pasal 3B UU Nomor 39 tahun 2007,“segala sesuatu yang terkait dengan barang kena cukai maka pelaksanaannya ada dalam kewenangan DJBC.”

Maaf kalau dalam undang Undang cukai, singkatan DJBC itu adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bukan sebegaimana sekarang ketika batu akik merebak: Dibelain Jualan Batu Cincin (DJBC)

Oleh karenanya apapun yang terkait pengaturan barang kena cukai termasuk besaran tarif pun dan penambahannya itu DJBC. Tapi kembali. Ada istilah arab,”kalamul malik, malikul kalam” bahasa indonesianya, “omongan raja adalah rajanya omongan Dengan demikian ketika perintah Ekstensifikasi diserahkan ke Institusi lain maka penulis ya Oks saja. Menjadi garis kebijakan pimpinan. Nyatanya?

Mari kami sampaikan sekelumit bagaimana upaya temen temen yang berkutat di bidang cukai dalam menyusun strategi ekstensifikasi. Semua perangkat hukum semua pasal dalam UU cukai sudah disiapkan sekiranya barang yang direkomendasi diajukan. Dari 13 calon barang kena cukai yang dibahas tersaring menjadi tiga barang. Cara menyaringnya itu ilmiah. Kalau bahasa metodologi yang sering dipapai anak anak bikin skripsi atau thesis: menggunakan skala lingkert terus diboboti dari semua aspek yang menjadi pertimbangan.

Tersaringlah tiga jenis barang: emisi mobil, permata, dan minuman bersoda. Lalu diserahkan semua kajian lengkap tersebut sampai dengan sistem tarif dan struktur tarif serta potensi cukai yang ada. Komplit tinggal bungkus Ibarat makanan. Ibarat mau perang tinggal maju dan mari bertarung. Semua senjata telah lengkap. Anda mau nanya apa semua tersedia. Mau alasan kesehatan kajian John Hopkins University tentang minuman bersoda sudah ada. Dari kemenkes juga ada tahun 2008.

Mau alasan kontraksi ekonomi? Ajak saja pengamat ekonomi yang hebat ke Robayan di Jepara ketika Bea Cukai kudus menutup pabrik. Atau ke Kepajen di Malang Selatan biar berhadapan dengan ribuan santri yang kerjanya dzikir dan ngelinting rokok. Gak usah pakai stempel ilmiah rumit rumit apalagi masalah ngomong makro ekonomi. Didepan mata dah nampak.

Senior saya bercerita ketika Australia Customs mengrkitisi penyelendupan tembakau australia dari Madura. Untungnya senior saya ini ndak silau dengan bule bermata biru atau berambut pirang hingga tahu tak semuanya omongan bule itu hebat. Lalu ia mengajaknya Douane Australia itu ke salah satu sentra tembakau di Madura. Diajaknya keliling desa itu dan komentar yang disampaikan satu,” This is a matter of livelihoodSelesai! Ndak berteori banyak dia.

Adalah jelas efeknya  menutup pabrik di sentra industri rokok dari pada nutup pabrik soda di satu kabupaten. Efek politis barang kali iya. Oleh karenanya “kegetunan” penulis “lempar” dalam bentuk opini dengan judul Menggali Potensi Ekstensifikasi Cukai (Harian KONTAN 4 September 2014).

Bagaimana tidak “getun” Semua kajian sudah diserahkan. Komplit tapi ketika di DPR menanyakan tetep saja larinya ke DJBC. Dan penulis pun yang kelimpungan mencari file kajian, slide dan hitungan potensi atas ekstensifikasi itu. Catat baik baik siapaun yang menagani bidang ini (BKF atau DJP nantinya)  hendaknya lebih dari yang ditangani DJBC. Kalau mengulang dan menambah sedikit, buang saja jargon reformasi atau apapun namanya. Kalau hanya menngganti baju atau judul saja tak menambah substansi, alangkah menyedihkan situasi ini. Kita tentu tak mau meniru instansi yang mengganti kata LAKIP menjadi LAKIN mengganti LHKPN menjadi LHKASN. Substansi sama tapi ndak menambah manfaat. Ngrepotin administrasi iya.

Berikutnya yang mendasari bahwa cukai tidak dipertahankan adalah terkait dengan sosialisasi dan kajiannya seperti apa. Penulis  tak pernah melihat dan mendengar kajian manfaat dan mudharat (bahasa masjid) atau plus minus kalau ini diserahkan disana. Formal yang ada itu ndak pernah tersosialisasikan. Siapa yang nangani pengawasan dilapangan. Penegahannya siapa dan pemungutnya siapa kantor cukai di jawa bagaimana. Asas superioritas pasal 3B UU Cukai bagaimana. Apakah nanti mutasi semua pegawai cukai ke DJP (ketika saya sounding tema ini kebanyakan bersorak...). Namun biasanya kalau ada kebijakan yang saling tarik ulur maka DJBC kebagian yang repot (maaf tak saya perpanjang dan saya ndak mbahas tukin. Bukan bidang saya).

Saya mengamati sedari dulu. Mari isntropeksi diri. Masalah PP kesehatan tentang rokok, saat inhi baru mulai dipelajari aparat lain. Penegakan masalah PHW ujungnya DJBC yang ketiban sampur: suruh cabut izin pabrik dan cabut izin penetapan tarif (mereka hanya berkoar kita perang di depan).  Masalah pajak rokok. Kita mungut luar biasa repot begitu insentif pemungutan kita ditinggal. Pemda yang dapat...(saya kalau mau mbahas pajak rokok takut tertawa geli melihat ada kebijakan seperti hebat yang pada akhir nya DJBC yang memungut dengan gagah berani)

Ada anekdot di kalangan temen temen yang menangani bidang cukai kala melihat perhelatan bagaimana DJBC selalu kalah (mengalah kayaknya tidak). Namanya theori anak nakal. Ketika dalam satu keluarga membagi warisan maka biasanya yang menang adalah anak nakal. Diatur bagaimana pun anak nakal yang menang. Pembagiannya boleh sama rata besarnya. Tapi tetap saja dapat sejengkal tanah di depan jalan karena alasan Dia sudah membuat warung disana.

 Kita membuat kesepakatan berbagai peraturan begitu diajukan di level tertinggi peraturan itu diubah kadang ditambah dan kadang tak dibahas di rapat berikutnya. Atau lembaran materi yang berubah tak dibahas. Begitu sampai menteri baru ribut,”kenapa DJBC menolak” dan kembali kalau sudah dari atas demikian akhirnya,”jalankan!

Sebagai prajurit tentu cuma satu kata,”Siap komandan” Kalau sudah demikian yang melegakan di hati kami satu kata,”Karena DJBC anak baik baik penurut dan sendiko dawuh” Anak baik nurut dan bontot. Masih belum cukup,”Kolokan lagi...  Kalau yang terakhir itu nyindir penulis...he he he.

Ini tulisan pribadi dan saya siap berdiskusi bertukar pikiran dan berdebat tentang opini ini. Jangan lupa sediakan secangkir kopi. Maklum kebiasan di Atjeh...
***
*Penulis Pemerhati Cukai

No comments:

Post a Comment