29 Apr 2015

KARENA CUKAI DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN (Bagian 2)



KARENA CUKAI DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN
(Bagian 2)
Oleh: Sunaryo*



Pertanyaan yang muncul manakala anda membaca tulisan pertama adalah: apa sih yang melandasi alasan DJBC tidak mempertahankan?

Mari penulis membuka berbagai kejadian yang menjadikan penulis memberanikan open di media pribadi ini. Kekurang care-an terhadap bidang ini menjadikan banyak kebijakan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan undang undang.

Yang Pertama terkait ekstensifikasi cukai. Kebijakan ini pada akhirnya terlepas dari bea dan cukai. Kalau ada orang yang paling “mengen”,-bahasa inggris banyumas-an, adalah penulis. Pertama secara Undang undang jelas dalam Pasal 3B UU Nomor 39 tahun 2007,“segala sesuatu yang terkait dengan barang kena cukai maka pelaksanaannya ada dalam kewenangan DJBC.”

Maaf kalau dalam undang Undang cukai, singkatan DJBC itu adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bukan sebegaimana sekarang ketika batu akik merebak: Dibelain Jualan Batu Cincin (DJBC)

Oleh karenanya apapun yang terkait pengaturan barang kena cukai termasuk besaran tarif pun dan penambahannya itu DJBC. Tapi kembali. Ada istilah arab,”kalamul malik, malikul kalam” bahasa indonesianya, “omongan raja adalah rajanya omongan Dengan demikian ketika perintah Ekstensifikasi diserahkan ke Institusi lain maka penulis ya Oks saja. Menjadi garis kebijakan pimpinan. Nyatanya?

Mari kami sampaikan sekelumit bagaimana upaya temen temen yang berkutat di bidang cukai dalam menyusun strategi ekstensifikasi. Semua perangkat hukum semua pasal dalam UU cukai sudah disiapkan sekiranya barang yang direkomendasi diajukan. Dari 13 calon barang kena cukai yang dibahas tersaring menjadi tiga barang. Cara menyaringnya itu ilmiah. Kalau bahasa metodologi yang sering dipapai anak anak bikin skripsi atau thesis: menggunakan skala lingkert terus diboboti dari semua aspek yang menjadi pertimbangan.

Tersaringlah tiga jenis barang: emisi mobil, permata, dan minuman bersoda. Lalu diserahkan semua kajian lengkap tersebut sampai dengan sistem tarif dan struktur tarif serta potensi cukai yang ada. Komplit tinggal bungkus Ibarat makanan. Ibarat mau perang tinggal maju dan mari bertarung. Semua senjata telah lengkap. Anda mau nanya apa semua tersedia. Mau alasan kesehatan kajian John Hopkins University tentang minuman bersoda sudah ada. Dari kemenkes juga ada tahun 2008.

Mau alasan kontraksi ekonomi? Ajak saja pengamat ekonomi yang hebat ke Robayan di Jepara ketika Bea Cukai kudus menutup pabrik. Atau ke Kepajen di Malang Selatan biar berhadapan dengan ribuan santri yang kerjanya dzikir dan ngelinting rokok. Gak usah pakai stempel ilmiah rumit rumit apalagi masalah ngomong makro ekonomi. Didepan mata dah nampak.

Senior saya bercerita ketika Australia Customs mengrkitisi penyelendupan tembakau australia dari Madura. Untungnya senior saya ini ndak silau dengan bule bermata biru atau berambut pirang hingga tahu tak semuanya omongan bule itu hebat. Lalu ia mengajaknya Douane Australia itu ke salah satu sentra tembakau di Madura. Diajaknya keliling desa itu dan komentar yang disampaikan satu,” This is a matter of livelihoodSelesai! Ndak berteori banyak dia.

Adalah jelas efeknya  menutup pabrik di sentra industri rokok dari pada nutup pabrik soda di satu kabupaten. Efek politis barang kali iya. Oleh karenanya “kegetunan” penulis “lempar” dalam bentuk opini dengan judul Menggali Potensi Ekstensifikasi Cukai (Harian KONTAN 4 September 2014).

Bagaimana tidak “getun” Semua kajian sudah diserahkan. Komplit tapi ketika di DPR menanyakan tetep saja larinya ke DJBC. Dan penulis pun yang kelimpungan mencari file kajian, slide dan hitungan potensi atas ekstensifikasi itu. Catat baik baik siapaun yang menagani bidang ini (BKF atau DJP nantinya)  hendaknya lebih dari yang ditangani DJBC. Kalau mengulang dan menambah sedikit, buang saja jargon reformasi atau apapun namanya. Kalau hanya menngganti baju atau judul saja tak menambah substansi, alangkah menyedihkan situasi ini. Kita tentu tak mau meniru instansi yang mengganti kata LAKIP menjadi LAKIN mengganti LHKPN menjadi LHKASN. Substansi sama tapi ndak menambah manfaat. Ngrepotin administrasi iya.

Berikutnya yang mendasari bahwa cukai tidak dipertahankan adalah terkait dengan sosialisasi dan kajiannya seperti apa. Penulis  tak pernah melihat dan mendengar kajian manfaat dan mudharat (bahasa masjid) atau plus minus kalau ini diserahkan disana. Formal yang ada itu ndak pernah tersosialisasikan. Siapa yang nangani pengawasan dilapangan. Penegahannya siapa dan pemungutnya siapa kantor cukai di jawa bagaimana. Asas superioritas pasal 3B UU Cukai bagaimana. Apakah nanti mutasi semua pegawai cukai ke DJP (ketika saya sounding tema ini kebanyakan bersorak...). Namun biasanya kalau ada kebijakan yang saling tarik ulur maka DJBC kebagian yang repot (maaf tak saya perpanjang dan saya ndak mbahas tukin. Bukan bidang saya).

Saya mengamati sedari dulu. Mari isntropeksi diri. Masalah PP kesehatan tentang rokok, saat inhi baru mulai dipelajari aparat lain. Penegakan masalah PHW ujungnya DJBC yang ketiban sampur: suruh cabut izin pabrik dan cabut izin penetapan tarif (mereka hanya berkoar kita perang di depan).  Masalah pajak rokok. Kita mungut luar biasa repot begitu insentif pemungutan kita ditinggal. Pemda yang dapat...(saya kalau mau mbahas pajak rokok takut tertawa geli melihat ada kebijakan seperti hebat yang pada akhir nya DJBC yang memungut dengan gagah berani)

Ada anekdot di kalangan temen temen yang menangani bidang cukai kala melihat perhelatan bagaimana DJBC selalu kalah (mengalah kayaknya tidak). Namanya theori anak nakal. Ketika dalam satu keluarga membagi warisan maka biasanya yang menang adalah anak nakal. Diatur bagaimana pun anak nakal yang menang. Pembagiannya boleh sama rata besarnya. Tapi tetap saja dapat sejengkal tanah di depan jalan karena alasan Dia sudah membuat warung disana.

 Kita membuat kesepakatan berbagai peraturan begitu diajukan di level tertinggi peraturan itu diubah kadang ditambah dan kadang tak dibahas di rapat berikutnya. Atau lembaran materi yang berubah tak dibahas. Begitu sampai menteri baru ribut,”kenapa DJBC menolak” dan kembali kalau sudah dari atas demikian akhirnya,”jalankan!

Sebagai prajurit tentu cuma satu kata,”Siap komandan” Kalau sudah demikian yang melegakan di hati kami satu kata,”Karena DJBC anak baik baik penurut dan sendiko dawuh” Anak baik nurut dan bontot. Masih belum cukup,”Kolokan lagi...  Kalau yang terakhir itu nyindir penulis...he he he.

Ini tulisan pribadi dan saya siap berdiskusi bertukar pikiran dan berdebat tentang opini ini. Jangan lupa sediakan secangkir kopi. Maklum kebiasan di Atjeh...
***
*Penulis Pemerhati Cukai

28 Apr 2015

Karena Cukai Dilepaskan Bukan Dipertahankan

KARENA CUKAI DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN
Oleh: Sunaryo*



Alkisah, -untuk mengawali tulisan ini, Umar Bayam seorang lulusan Program Diploma Keuangan (PRODIP Bea dan Cukai menyelesaikan studinya dengan tepat waktu. Minggu pertama seusai penempatan ia memasuki Kantor Besar (Kantor Pusat) DJBC di Rawamangun dengan semangat mengenakan pakaian kebesarannya yakni Seragam Bea Cukai (Bea Cukai dulu dikenal Korps Abu-Abu). 

Begitu sampai di depan Kantor Besar merekahlan raut wajahnya karena ini hari adalah awal menjadi Pegawai Bea dan Cukai atau Douane, begitu Bapaknya di kampung kalau membanggakan anaknya. 

"Kerja dimana Dik...?"

"Di Kantor  situ Pak....." sembari menunjuk sebuah gedung yang didepannya terpampang pesawat capung.

"Ngurusi apa Dik.....?"
Dengan tangkas dijawabnya,"Ngurusi rokok..." dengan tegas
Mendengar jawabab tersebut si penanya melengos sembari bergumam,"Kirain Bea Cukai!"

Ada kekagetan sang pegawai mendengan jawab tersebut. Terlebih ini adalah minggu pertama kerja di Kantor Besar Bea Cukai. Lalu kenapa saya dibilang bukan Bea Cukai? Apakah rokok bukan urusan bea Cukai? Kisah pertama ditutup dengan menurunnya semangat sang pegawai mendapati kenyataaan ditempatkan di bidang yang kurang bergengsi.

Lain pula kisah Misdar bin Misbar yang telah lama menggeluti dunia cukai. Sekali waktu ia berdiskusi dengan temen yang ditempatkan di pengawasan. Lalu berdialog terkait kenapa ada perbedaan ekspresi pegawai yang ditempatkan di bidang cukai dan ditempatkan di bidang pengawasan. Perbedaanya sangat mencolok. Pertama begitu skep diterima maka pegawai yang ditempatkan di bidang cukai akan bilang,"Yah, di cukai" sementara mereka yang di bidang pengawasan akan berekspresi "mantap komandan!". Setelahnya belum selesai karena undangan dan ajakan untuk minta ditraktir pegawai yang ditempatkan di bidang pengawasan terus mengalir. 

Misdar bin Misbar memberanikan diri bertanya ke senior kenapa fenomena ini terjadi. Lalu mereka berdialog sepanjang jalan dan sembari menaiki lift kantor besar delapan lantai. Tat kala misdar bin Misbar turun di lantai 4 (empat), sang senior mencegahnya,"Kalau kamu ingin tahu jawaban kenapa orang ditempatkan di bagian pengawasan bergembira sedangkan ditempatkan di cukai biasa saja, jangan turun disini. kita naik dulu ke lantai delapan!". Misdar pun mengikuti jakannya. lalu begitu turun lift lantai 8 dilihatkan pemandangan gedung kantor besar seluruhnya. Maka nampak semua pemandangan indah dari lantai Ditengah halaman nan luas itu nampak bendera merah putih berkibar gagah ditengahnya. "Sudah lihat?" tanya sang senior ke Misdar. "Ayoo turun ke kantormu.." ajaknya.

Maka Misdar kini menuruni lift dan sampailah di lantai 4 (empat) dimana ia bertugas di bidang cukai. "Kamu lihat bendera disini?" tanya sang senior.

"Tidak...!" jawab misdar pendek
"Kapan bisa lihat..?" tanya senior
"Kalau pas dipasang di tengah..."
"Nah itulah jawabannya Dar..."
"Kenapa...?" Misdar bingung

"Artinya kalau orang ditempatkan di bidang cukai atau di lantai 4 (empat) itu sama saja benderanya setengah tiang alias berduka...ha ha ha.." sang senior sambil tertawa menjelaskan...Keduanya pun tertawa bersama menertawakan fenomena kenapa begitu pegawai ditempatkan dicukai menjadi berkabung. Ndak tahunya karena benderanya setengah tiang.

Tentulah itu sebuah anekdot yang hidup dan berkembang karena situasi dan kondisi sesuai dengan zamannya. pegawai yang ditempatkan di bidang cukai sering tak berasa bangga atau cenderung menjadi second citizen di DJBC bukanlah perasaan yang bisa diabaikan begitu saja. Jauh sebelum reformasi situasi ini sangat terasa dimana kebanyakan pegawai yang ditempatkan di bidang cukai adalah para senior yang menjelang pensiun. Akibatnya satu subdit potensi cukai yang seharusnya menjadi litbang ekstensifikasi pun di likuidasi karena ndak ada hasil yang dikaji. Bisa jadi hal tersebut yang menjadikan pungutan cukai sampai saat ini sangat sangat sempit yaitu hanya tiga jenis barang: rokok, alkohol, dan minuman beralkohol.

Bukti lain yang memprihatinkan adalah kala timbulnya tim bersama operasi penanggulangan  rokok ilegal. Penulis merasa iba mendapati rapat di berbagai departemen gigih membahas bagaimana membrantas rokok ilegal. Leader saat itu adalah Departemen perindustrian dibawah Fahmi Idris sebagaimenterinya yang sangat getol membahas persoalan rokok. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur dibuatkan kesepakatan bersama yang melibatkan Polri, Deperin, Depkeu, dan pemda. Saat itu praktis DJBC tersita persoalan Tanjung Priok, Tanjung Perak, Tanjung Emas, dan Batam. Cukai hanya kami yang berjalan kesana kemari mewakili. 

Dalam satu kesempatan sosialisasi di kantor pusat penulis merasa perlu membuat statemen akibat kurangnya antusiasisme pseserta sosialisasi terkait dengan bidang cukai,"Saya sedih ketika rapat di Deperin, Depdag, Deptan, dan Depkes, juga BKF. Karena praktis mereka care semua dengan kita sementara DJBC sendiri praktis sekedarnya saja. Jangan salah kalau kelak akan muncul Direktorat Jenderal Cukai. Dan saya adalah Dirjen Cukainya...

Dan setelah hampir sepuluh tahun itu, kemungkinan candaan penulis tersebut akan menjadi kenyataan setelah hasil keputusan rapat menetapkan bahwa per tahun 2017 bidang Cukai menjadi kewenangan DJP. Penulis bercampur aduk perasaaanya: sedih, kaget, heran, dan agak emosional mendengar argumen,"Di luar negeri memang cukai tidak dibawah Customs"
Maaf penulis tak mau mengutip ungkapan salah satu sosiolog,"Kalau pernah menjadi inlander biasanya menganggap apa yang di luar negeri segalanya

Penulis memilih mengutip ungkapan Wak Haji Rhoma Irama,"Saringlah dulu apa yang datangnya dari Barat. Jangan asal telan.  Ambil isi dan campakkanlah kulitnya." Ingin rasanya membuka isi kepalanya dan menanyakan kenapa argumennya. 

Hanya kembali kalau sudah menjadi keputusan terlebih yang memutuskan adalah atasan maka penulis pun meletakan ukuran kepantasan. Dan semua usulan sebatas penulis pun hanya tulisan.  Ada ungkapan bijak ketika penulis diskusi dengan senior yang kebetulan lama di bidang pengawasan,"Kalau sudah jelas sinyalnya tidak ada upaya mempertahankan, maka dilepaskan! Dan biar tak sakit hati, maka di-ikhlaskan!"

Beberapa orang menelepon penulis agar mengirim bahan peraturan cukai sekomplitnya melalui email. Dia mau ikut ke DJP bahkan kalau seleksi pun mau. Kembali campur aduk perasaan penulis menerima animo ini. hanya ingat kata senior saya,"Ikhlaskan!"

Atau barang kali mengambil oportuntis di bidang ini. Bukankah dimasanya Anwar Supriadi menjabat Dirjen Bea Cukai kalau ketemu dengan Ibu Sri Mulyani suka bercanda ketika penulis datang,"Ini Dirjen Cukai datang Bu. Saya kan Dirjen Pabean."candanya. Bukan maksud melebihkan apa yang diungkapkan. Hanya siapa tahu candaan menjadi kenyataan. Apalagi candaan seorang Dirjen.

Harapan penulis kalau sampai benar bidang cukai gabung di DJP janganlah ungkapan ini terulang lagi. Dikalangan pegawai yang menekuni bidang cukai kali segala usulan banyak ditolak sering muncul ungkapan sarkastis,"Cukai itu ibarat bayi lahir  adalah cacat.  Karenanya menjadi ndak menarik dipandang dan disawang. Sudah cacat bayinya lahirnya juga sungsang" Sarkastis memang. Tapi realitas sering dibuat bahan pembicaraan.

"Masih untung bukan anak haram!" kata saya menimpali kala itu. Yang terakhir ini pasti penulis bercanda. Habis ingat lagunya Ida Laela...

***
                                                                                             * Penulis pemerhati bidang cukai

11 Apr 2015

Laffer Curve dan Tarif Cukai Rokok 2015

Laffer Curve Pada Kebijakan Tarif Cukai Rokok
Oleh: Sunaryo*



Pada tanggal 20 Maret 2015 di Kantor Pusat DJBC diadakan Forum Discussion Group (FGD) Implementasi Theori Laffer Dalam Kebijakan Cukai. Forum yang digelar oleh Direktorat Cukai tersebut mendatangkan penemu theorinya yaitu Arthur B. Laffer. Ph.D. Langkah ini merupakan terobosan sangat bagus untuk perkembangan kebijakan cukai rokok. Selain itu diharapan dapat memperjelas seperti apa aplikasinya dalam kebijakan cukai di Indonesia, terutama untuk cukai hasil tembakau  (rokok).  Kita mengetahui cukai rokok merupakan andalan penerimaan cukai karena kontribusinya diatas 90%. Jika Salah menetapkan kebijakan bisa sebaliknya yang didapat:-bukannya kenaikan penerimaan melainkan penurunan. Pertanyaannya apakah mungkin terjadi? Apakah sudah terjadi dan kalau belum, kapan itu terjadi? Tulisan ini mencoba memberi jawaban atas aplikasi Theory Laffer dalam kebijakan cukai rokok.

Kurva Laffer Dan Fungsi Parabola



Jika mengambil teks penjelasan dari Laffer, memahami kurva laffer  secara gampang yaitu terdapat dua titik ekstrim tarif pajak pertama disebelah kiri adalah 0%. Pada situasi ini negara tak akan mendapatkan penerimaan apapun karena tarif pajak 0%. Titik ekstrim berikutnya adalah tarif  100%. Di sini pun negara tak akan mendapatkan penerimaan sama sekali karena tarif pajak terlalu tinggi yang berdampak tak satupun masyarakat mau membayar pajak.

Cara lain memahami kurva laffer adalah dengan mengingat kembali pelajaran SMA yang membahas tentang fungsi. Fungsi didefinisikan sebagi relasi yang menghubungkan setiap anggota x dalam suatu himpunan yang disebut daerah asal (Domain) dengan suatu nilai tunggal f(x) dari suatu himpunan kedua yang disebut daerah kawan (Kodomain). Himpunan nilai yang diperoleh dari relasi tersebut disebut daerah hasil ( Range). Dalam konteks kurva Laffer yang menjadi variabel asal-nya (X) adalah tarif cukai sedangkan daerah hasil-nya (y) adalah penerimaan yang dalam hal ini adalah penerimaan cukai. Dari beberapa jenis fungsi satu diantaranya adalah fungsi kuadratik atau yang biasa di formulasikan Y=f{X}=aX2+bX+c

Seperti grafik diatas terdiri atas Sumbu X yang merupakan variabel tarif sedangkan sumbu Y yang merupakan variabel penerimaan. Dalam gambar tersebut terdapat garis yang membelah dua kurva sama besar. Garis tersebut adalah sumbu simetri (X= -b/2a)  atau dalam pelajaran matematika jika sumbu simetri itu di masukan ke fungsi parabola maka akan menghasilkan titik tertinggi. Dalam Theori Laffer titik ini menjadi titik krusial dalam kebijakan tarif perpajakan karena jika dinaikan lagi melebihi sumbu simetrinya maka yang didapatkan bukannya penambahan penerimaan melainkan penurunan.

Aplikasi Kurva Laffer

a.       Tarif Cukai Hasil Tembakau
Untuk dapat mengaplikasikan kurva laffer maka perlu memahami terlebih dahulu tarif cukai di indonesia. Tarif cukai di indonesia dibuat bervariasi dengan mempertimbangkan jenis rokok, jumlah produksi pabrik pertahunnya, serta berapa harga jual eceran (HJE) yang ditetapkan pemerintah.
Dari Jenis rokoknya pemerintah menetapkan delapan jenis rokok. Namun demikian dari delapan jenis tersebut tiga jenis yang kontribusinya 99% yaitu SKM (Sigaret Kretek Mesin), SPM (Sigaret Putih Mesin), dan Sigaret kretek Tangan (SKT). Untuk jenis SKM dan SPM Pabrik digolongkan 2 (dua) pabrik masing masing disebut Golongan I dan Golongan II. Sedangkan untuk jenis SKT digolongkan menjadi 4 (empat) golongan I adalah pabrik yang memproduksi lebih dari 2 miliar batang. Golongan II adalah lebih dari 500 juta batang hingga 2 miliar batang. Dan Golongan III adalah mereka yang produksi sampai dengan 500 juta batang. Itu berlaku untuk masing masing jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) masing masing disebut Golongan I, II, IIIA, dan IIIB.

Untuk masing masing jenis dan golongan masih dibedakan kembali berapa HJE per batang yang ditetapkan. Untuk SKM golongan I  dibuat single tarif yaitu Rp415 per batang dengan ketentuan HJE perbatang diatas Rp800 per batang. SKM Golongan II dibedakan menjadi dua tarif yaitu yang diatas Rp588 per batang sebesar Rp305 sedangkan untuk yang dibawah Rp265 tarifnya Rp per batang. Demikian seterusnya dan dapat dibaca dalam PMK 205/PMK.011/2014.

Menjadi pertanyaan adalah bagimana jika kebijakannya bersifat penyederhanaan golongan ataupun interval HJE. Atau bahkan dalam kaitan dengan PMK yang mengatur hubungan keterkaitan akibat kesamaan manajemen, ketergantungan bahan baku, sebagaimana dalam PMK 131/PMK.011/2013, maka perlu dicari beban cukai yang mewakili pabrik yang terkena dampak kenaikan tarifnya. Apakah effect theori laffer sudah terjadi akan semakin kelihatan.

b.      Mengaplikasikan Dalam Kurva Laffer

Untuk mengaplikasikan dalam kurva laffer, tarif cukai sebagaimana PMK 205/PMK. 11/2014 perlu hitung masing masing beban cukai yang mewakili. Tentu idealnya ada satu beban cukai yang mewakili. Namun demikian mengingat karakteristik masing-masing jenis rokok,-persaingan, respon terhadap kenaikan tarif cukai, selera konsumen, inflasi, nilai tukar, fluktuatif harga bahan baku, dan lainnya, maka minimal yang dihitung adalah beban cukai per jenis rokok. Ini sebagai variabel X dari kurva laffer. Penerimaan sebagai variabel Y juga demikian dibedakan per jenis rokok.

Yang menjadi pertanyaan kenapa tidak beban cukai seluruh rokok. Ini menghindarkan terjadinya bias akibat subtitusi effect dari konsumen ke jenis rokok satu sama lainnya. SKM ke SKT atau SPM atau sebaliknya. Karena jika ini terjadi penerimaan total akan tak cenderung naik dan effect kenaikan tarif cukai tak terdeteksi. Lebih akurat lagi jika dicari beban cukai per jenis golongan pabrik. Maka akan semakin nyata dampak kenaikan tarif cukai ke jenis dan golongan tersebut.

Apakah Tarif Maksimum Sudah Terjadi

             Penerimaan adalah tolak ukur apakah theori laffer sudah terbukti atau belum. Saat ini penerimaan cukai rokok masih mengalami peningkatan secara terus menerus. Tahun 2015 penerimaan cukai rokok mencapai Rp118,09 triliun. Ini meningkat 8,8% dari tahun 2013 yang Rp103,55 triliun. Padahal kenaikan tarif cukai selama dua tahun terakhir masing masing 8,7% sedangkan tahun 2013 sebesar 8,5%. Secara eksplisit dengan kenaikan tarif sebesar itu maka puncak tarif maksimimum kurva laffer belum tercapai. Karena penerimaan senantiasa mengalami kenaikan.

                Cara pandang seperti di atas adalah cara pandang global dan memang demikian adanya. Cara pandang yang lebih proporsional jika kita telusuri lebih detail yaitu per jenis dan golongan pabrik. Bahkan dari data yang ada tak sampai per jenis dan golongan rokok. Per jenis rokok saja sudah terbukti bahwa kenaikan tarif cukai telah berdampak pada penurunan penerimaan cukai. Perlu diketahun bahwa penerimaan cukai jenis SKT tahun 2015 dalam kisaran Rp14 triliun. Padahal pada tahun 2014 penerimaan cukai dari SKT Rp16 triliun. Jumlah ini mengalami penurunan -12,5% pada saat periode yang sama tarif cukai mengalami kenaikan 8%. Dengan demikian sesungguhnya tarif maksimum untuk jenis SKT sudah tercapai jika ditinjau dari Theori Laffer.

                Menjadi menarik jika pertanyaan dilanjutkan,”berarti tahun depan harus diturunkan agar penerimaan cukai jenis rokok SKT naik atau tetap?” Ini juga yang menjadi kelemahan dari theory laffer. Karena asumsi yang digunakan semua variabel independen (bahan baku, taste, growth ekonomi, nilai tukar, bahkan faktor internal pabrik yang bisa jadi menjadi penyebab utama) tercermin (akumulasi) dalam angka beban cukai itu sendiri. Karena untuk membahas mana yang dominan, maka perlu pembahasan lebih lanjut. Harus menggunakan analisa faktor yang bisa membedakan mana yang dominan. Atau minimal multiple regression yang bisa melihat faktor determinasi masing masing variabel independen. Hanya saja tentu bukan dibahas di theori laffer.


***

Aceh,13 April 2015