KARENA CUKAI
DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN
(Bagian 2)
Oleh: Sunaryo*
Pertanyaan yang muncul manakala anda membaca tulisan pertama adalah: apa
sih yang melandasi alasan DJBC tidak mempertahankan?
Mari penulis membuka berbagai kejadian yang menjadikan penulis
memberanikan open di media pribadi ini. Kekurang care-an terhadap bidang ini menjadikan banyak kebijakan tidak
berjalan sesuai dengan yang diharapkan undang undang.
Yang Pertama terkait ekstensifikasi cukai. Kebijakan ini pada akhirnya
terlepas dari bea dan cukai. Kalau ada orang yang paling “mengen”,-bahasa inggris banyumas-an, adalah penulis. Pertama secara
Undang undang jelas dalam Pasal 3B UU Nomor 39 tahun 2007,“segala sesuatu yang
terkait dengan barang kena cukai maka pelaksanaannya ada dalam kewenangan DJBC.”
Maaf kalau dalam undang Undang cukai, singkatan DJBC itu adalah Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai. Bukan sebegaimana sekarang ketika batu akik merebak: Dibelain Jualan Batu Cincin (DJBC)
Oleh karenanya apapun yang terkait pengaturan barang kena cukai termasuk
besaran tarif pun dan penambahannya itu DJBC. Tapi kembali. Ada istilah arab,”kalamul malik, malikul kalam” bahasa
indonesianya, “omongan raja adalah rajanya
omongan” Dengan demikian ketika perintah
Ekstensifikasi diserahkan ke Institusi lain maka penulis ya Oks saja. Menjadi
garis kebijakan pimpinan. Nyatanya?
Mari kami sampaikan sekelumit bagaimana upaya temen temen yang berkutat
di bidang cukai dalam menyusun strategi ekstensifikasi. Semua perangkat hukum semua
pasal dalam UU cukai sudah disiapkan sekiranya barang yang direkomendasi
diajukan. Dari 13 calon barang kena cukai yang dibahas tersaring menjadi tiga
barang. Cara menyaringnya itu ilmiah. Kalau bahasa metodologi yang sering
dipapai anak anak bikin skripsi atau thesis: menggunakan skala lingkert terus diboboti dari semua aspek yang menjadi
pertimbangan.
Tersaringlah tiga jenis barang: emisi mobil, permata, dan minuman
bersoda. Lalu diserahkan semua kajian lengkap tersebut sampai dengan sistem
tarif dan struktur tarif serta potensi cukai yang ada. Komplit tinggal bungkus Ibarat
makanan. Ibarat mau perang tinggal maju dan mari bertarung. Semua senjata telah
lengkap. Anda mau nanya apa semua tersedia. Mau alasan kesehatan kajian John Hopkins
University tentang minuman bersoda sudah ada. Dari kemenkes juga ada tahun
2008.
Mau alasan kontraksi ekonomi? Ajak saja pengamat ekonomi yang hebat ke Robayan
di Jepara ketika Bea Cukai kudus menutup pabrik. Atau ke Kepajen di Malang
Selatan biar berhadapan dengan ribuan santri yang kerjanya dzikir dan
ngelinting rokok. Gak usah pakai stempel ilmiah rumit rumit apalagi masalah ngomong
makro ekonomi. Didepan mata dah nampak.
Senior saya bercerita ketika Australia
Customs mengrkitisi penyelendupan tembakau australia dari Madura. Untungnya
senior saya ini ndak silau dengan bule bermata biru atau berambut pirang hingga
tahu tak semuanya omongan bule itu hebat. Lalu ia mengajaknya Douane Australia
itu ke salah satu sentra tembakau di Madura. Diajaknya keliling desa itu dan
komentar yang disampaikan satu,” This is a matter of
livelihood” Selesai! Ndak berteori banyak dia.
Adalah jelas efeknya menutup
pabrik di sentra industri rokok dari pada nutup pabrik soda di satu kabupaten.
Efek politis barang kali iya. Oleh karenanya “kegetunan” penulis “lempar” dalam bentuk opini dengan judul Menggali
Potensi Ekstensifikasi Cukai (Harian KONTAN 4 September 2014).
Bagaimana tidak “getun” Semua
kajian sudah diserahkan. Komplit tapi ketika di DPR menanyakan tetep saja
larinya ke DJBC. Dan penulis pun yang kelimpungan mencari file kajian, slide
dan hitungan potensi atas ekstensifikasi itu. Catat baik baik siapaun yang
menagani bidang ini (BKF atau DJP nantinya) hendaknya lebih dari yang ditangani DJBC. Kalau
mengulang dan menambah sedikit, buang saja jargon reformasi atau apapun
namanya. Kalau hanya menngganti baju atau judul saja tak menambah substansi,
alangkah menyedihkan situasi ini. Kita tentu tak mau meniru instansi yang
mengganti kata LAKIP menjadi LAKIN mengganti LHKPN menjadi LHKASN. Substansi
sama tapi ndak menambah manfaat. Ngrepotin administrasi iya.
Berikutnya yang mendasari bahwa cukai tidak dipertahankan adalah terkait
dengan sosialisasi dan kajiannya seperti apa. Penulis tak pernah melihat dan mendengar kajian
manfaat dan mudharat (bahasa masjid)
atau plus minus kalau ini diserahkan disana. Formal yang ada itu ndak pernah
tersosialisasikan. Siapa yang nangani pengawasan dilapangan. Penegahannya siapa
dan pemungutnya siapa kantor cukai di jawa bagaimana. Asas superioritas pasal
3B UU Cukai bagaimana. Apakah nanti mutasi semua pegawai cukai ke DJP (ketika
saya sounding tema ini kebanyakan bersorak...). Namun biasanya kalau ada
kebijakan yang saling tarik ulur maka DJBC kebagian yang repot (maaf tak saya
perpanjang dan saya ndak mbahas tukin. Bukan bidang saya).
Saya mengamati sedari dulu. Mari isntropeksi diri. Masalah PP kesehatan
tentang rokok, saat inhi baru mulai dipelajari aparat lain. Penegakan masalah
PHW ujungnya DJBC yang ketiban sampur: suruh cabut izin pabrik dan cabut izin
penetapan tarif (mereka hanya berkoar kita perang di depan). Masalah pajak rokok. Kita mungut luar biasa
repot begitu insentif pemungutan kita ditinggal. Pemda yang dapat...(saya kalau
mau mbahas pajak rokok takut tertawa geli melihat ada kebijakan seperti hebat
yang pada akhir nya DJBC yang memungut dengan gagah berani)
Ada anekdot di kalangan temen temen yang menangani bidang cukai kala melihat
perhelatan bagaimana DJBC selalu kalah (mengalah kayaknya tidak). Namanya
theori anak nakal. Ketika dalam satu keluarga membagi warisan maka biasanya
yang menang adalah anak nakal. Diatur bagaimana pun anak nakal yang menang. Pembagiannya
boleh sama rata besarnya. Tapi tetap saja dapat sejengkal tanah di depan jalan
karena alasan Dia sudah membuat warung disana.
Kita membuat kesepakatan berbagai
peraturan begitu diajukan di level tertinggi peraturan itu diubah kadang
ditambah dan kadang tak dibahas di rapat berikutnya. Atau lembaran materi yang
berubah tak dibahas. Begitu sampai menteri baru ribut,”kenapa DJBC menolak” dan kembali kalau sudah dari atas demikian
akhirnya,”jalankan!”
Sebagai prajurit tentu cuma satu kata,”Siap komandan” Kalau sudah demikian yang melegakan di hati kami
satu kata,”Karena DJBC anak baik baik
penurut dan sendiko dawuh” Anak baik nurut dan bontot. Masih belum cukup,”Kolokan
lagi...” Kalau yang terakhir itu nyindir
penulis...he he he.
Ini tulisan pribadi dan saya siap berdiskusi bertukar pikiran dan
berdebat tentang opini ini. Jangan lupa sediakan secangkir kopi. Maklum kebiasan
di Atjeh...
***
*Penulis Pemerhati Cukai