BEA CUKAI JANGAN TERLALU “NJAWANI”
Oleh: Sunaryo*
Kalaupun saya membahas tentang karakter yang menonjol sebuah suku di Indonesia, yang dalam hal ini adalah Suku Jawa, tak bermaksud mengunggulkan yang satu untuk kemudian mengerdilkan yang lainnya. Haram bagi saya menilai baik buruk hanya melihat dari mana dia “terlahir”. Kata “terlahir” inilah cara mudah menyimpulkan bahwa setiap manusia tidak punya pilihan kala pertama kali menghirup nafas di bumi. Sudah Given Katanya. Kiranya punya pilihan barangkali tidak ada varians warna kulit, bentuk rambut, bentuk hidung, dan bentuk bibir. Bagi yang mengidolakan Rani Mukhrejee tentu memilih terlahir dari rahim orang tua berkebangsaan India, Arab, atau Pakistan. Bagi mereka yang mengidolakan Nicolas Cage tentu berharap terlahir dari orang tua asal Eropa. Meski untuk bisa mendapatkan mata biru-nya, berharap terdapat “kontaminasi” gen dari orang Eropa timur yang rata-rata biru warna matanya. Bagi yang mengidolakan Wong Fei Hung (Yang benrama islamnya Fais Husein Wong) berharap dilahirkan oleh orang Tionghoa, Jepang, ataupun Korea.
Pertanyaannya kenapa ndak dipaparkan bagaimana yang berharap terlahir
dengan kecantikannya seperti Ratu
Kalinyamat atau Raden Ayu Diyah
pitaloka (Putri Prabu Linggabuana dari Padjajaran dan tentu yang bukan
anggota DPR-RI). Bukan lantaran saya tidak pernah melihat videonya atau
lukisannya. Ini tidak dilakukan lebih karena takut tulisan penuh dengan thema
seperti itu.
Satu karakter suku jawa yang
menonjol adalah dari aspek linguistik. Bahasa jawa diketahui memiliki frekuensi
yang cenderung sedikit yang terlihat dari tempo bicaranya cenderung lambat.
Karenanya bahasanya tak cocok digunakan untuk memarahi orang yang membutuhkan
kalimat yang cepat dan berulang kali. Kemudian dari aspek amplitudo juga
cenderung rendah. Ini bisa ditandai dengan intonasi dialek jawa cenderung datar
dan tidak terlalu ekstrim. Untuk membedakannya Anda bisa membandingkan dengan Bahasa
India atau Arab yang cenderung cepat
frekuensinya dan besar Amplitudonya.
Sebegitu unik karakter Bahasa Jawa
hingga kalau dipakai untuk dubbing film-film Holywood, menjadikan alur film tersebut “berubah”. Bagaimana tidak berubah, wong,
saat adegan bedebat yang seharusnya ekspresi aktor dan aktris tegang, sementara
bahasanya ber-intonasi rendah dan ber-frekuensinya lambat. Film dengan thema
kekerasan sekalipun, ketika di-dubbing
dengan Bahasa Jawa akan menjadi tak elok. Karenanya alangkah indahnya, seandainya
bahasa Jawa di-jadikan bahasa internasional. Ini akan akan menjadi “instrumen” perdamaian yang mujarab (berandai
tentu tak apalah).
Sebegitu uniknya Bahasa Jawa, bahkan-konon
sekiranya film-film “Blue” menggunakan Dubbing Bahasa Jawa akan menjadi “tawar” ke-“blue”-annya. Bagaimana tidak? Apa jadinya jika kata “oh Yes”
dan “oh No” diganti dengan kata “oh Nggih” dan “oh Mboten”. Apa ndak aneh?
Apa perlu frekuensi pengucapan dua kata itu dipercepat biar selaras dengan
suasananya? Bukannya tambah “saru” sebaliknya malah
tambah “lucu” (jangan
dipraktikan menonton nanti saya berdosa karenanya).
Sifat Njawani Bea Cukai dalam konteks santun dan sopan sebagaimana
Bahasa Jawa, sangat “kentara” kala menghadapi hal-hal
yang terkait dengan remunerasi. Dulu, kala reformasi digelindingkan terdapat beberapa
pilar yang diajukan: Organisasi, SDM, Sisdur, dan Remunerasi. Untuk meng-goal-kan
remunerasi langkah yang pertama dilakukan adalah membuat grading masing-masing Jabatan.
Bahkan sampai level staf di masing-masing unit. Piagam kontrak kinerja
diberikan sebagai target kinerja tahunan. Namun demikian belum sampai selesai
program itu dilakukan, proyek remunerasi tersebut telah diimplementasikan pada eseleon
satu lain. Menanggapi hal ini jajaran Bea Cukai berkomentar bijak,”Ndak
apa-apa program kita diimplementasikan ditempat lain. Sama sama Kemenkeu”
Lebih diperjelas lagi sifat Njawani
Bea dan Cukai terkait dengan insentif cukai. Jujur saja saya sebenarnya enggan
membicarakan masalah ini. Barangkali karena sudah terlalu lama dibicarakan
sejak 2008. Meski pasal yang menjadi dasar sudah sangat jelas dalam UU Nomor 39
Tahun 2007. Jalan menuju terselesainya tata laksana lika-likunya luar biasa. Alhamdulillah
sempat cair di tahun 2015. Karena kalau sampai belum terealisasikan, bisa jadi ada
satu pasal di UU nomor 39 tahun 2007 yang bakal tak terlaksanakan sampai UU
tersebut diamandemen lagi. Yang lebih spesial lagi jika hal itu bukanlah hal
yang terlalu dipermasalahkan oleh aparat fungsional pemeriksa. Apa karena tak
jelas makna pasalnya atau barangkali terkait letak pasalnya yang terlalu
terakhir atau bisa jadi tulisannya. Sampai ada yang berseloroh mengomentari
masalah ini,”Jangan jangan ketika membaca ketentuan tentang insentif cukai dalam
buku undang undang cukai, tulisanya tiba tiba menjadi putih semua sehingga
tidak kebaca.” lho siapa tahu.
Karena setahu saya pada buku undang undang cukai kompilasi hanya ada dua warna:
warna hitam yang tak berubah dan warna biru yang di amandemen. Setahu saya tak
ada satu pasal pun tulisannya berwarna putih. (meski yakin konteksnya bercanda,
saya hanya mengambil deskripsi bagaimana suasana dati menunggu dan mengharap)
Apalagi selama periode terakhir ini temuan aparat fungsional di bidang
ini luar biasa. Dan sangat detail materinya. Sudah beruntun sifatnya dan massif
skalanya. Aparat fungsional pemeriksa “Bertubi-tubi-tubi-tubi” (lebay saya kelihatan disini karena
geregetan) adalah hal yang terkait tanda lunas cukai. Sekiranya ada satu
solusi yang direkomendasikan dan itu menyelesaikan, bahkan kiranya “bumi berguncang” akan dijalankan. (lebay kedua saya kelihatan karena
keputus-asaan) Bahkan sekiranya ada satu instansi yang berani dan bersedia menangani
ini, maka kalau boleh meminjam ungkapan senior saya,”Permohonan diajukan sekarang, kemarin
telah kami setujui dan ditandatangani“ (lebay saya yang terakhir pasti karena beban).
Maaf,
bukan dalam konteks memandang sikap Njawani dalam persoalan yang saya
tulis dia atas itu sebuah cela atau kekurangan. Kebetulan persoalannya yang
disikapi berdampak pada internal Bea Cukai yang dengan sifat semi-militernya masih bisa
ditanggulangi. Tak ada kata lain selain kata “Siap” kala diperintah dan diputuskan. Akan menjadi persoalan ketika
itu tidak diubah dalam menghadapi per-“politik”-an
birokrasi. Perebutan kewenangan misalnya. (Masih ingat theori “anak nakal” yang saya tulis di tulisan sebelum ini)
Yang paling mutakhir adalah
terkait kewenangan patroli laut. Adanya Badan Keamanan Laut (BAKMLA) adalah
contoh. Benar bahwa,-mengambil kata Presiden jokowi,”Kita telah terlalu lama
memunggungi Laut” Perlu upaya yang sistemik agal maritim kita berjaya.
Hanya format pelaksanaannya jangan sampai menggilas praktik-praktik yang sudah
berjalan. Terlebih praktik itu telah terlegitimasi konvensi internasional. Satu
permasalahan yang sedang menjadi tarik ulur adalah kewenangan patroli laut yang
mana BAKAMLA akan mengkoordinasikan
seluruh instansinya. Perlu detail mekanisme kewenangan dan SOP bagaimana
menangani seluruh aktifitas di laut dimana ada puluhan undang-undang yang
dijalankan berbagai instansi Kementrian. Jangan sampai prinsip dasar yang telah
berjalan dan disepakati seluruh negara (UNCLOS)
dimana Hanya Customs, Imigrasi, dan
Karantina yang berhak menaiki kapal bendera asing yang memasuki wilayah
suatu negara, menjadi ter-abai karena menjalankan undang undang yang sebenarnya
berniat baik.
Santun dan sopan (Njawani)
tentu harus diterapkan dalam berdiplomasi ditengah perpolitikan birokrasi.
Hanya ketika menyangkut hal yang prinsip teknis terkait kewenangan Bea dan
cukai dan melalui pengalaman Bea Cukai yang panjang telah dapat memperkirakan
adanya kecenderungan lebih mengedepankan egosentris
institusi atau juga menjauh dari “kelaziman
internasional”, maka perlu disampaikan secara lugas dan cerdas. Saya tak
akan mengambil analog bahasa agama,”Qoola Haqqu Walau Kaana Murran” atau
meski pahit tetap katakan!. Karena jika itu yang dipakai kaitannya syurga
dan neraka
kalau di qiyas-kan tetaplah bisa. Saya hanya menyarankan ada masanya
menggunakan cara “Batak” yang lugas dan jelas. Ada caranya menggunakan
Bahasa “Padang” atau “Atjeh” yang irit kata tapi jelas. Atau kalau sudah yakin benar tapi tetep dipaksa
mengurangi kewenangan yang telah ada, pakai saja gaya Bawor Banyumasan,”Rika adol enyong sing tuku”
***
Jakarta, 20 Desember 2015