20 Dec 2015

Bea Cukai Jangan Terlalu NJAWANI


BEA CUKAI JANGAN TERLALU “NJAWANI”
Oleh: Sunaryo*


               
Kalaupun saya membahas tentang karakter yang menonjol sebuah suku di Indonesia, yang dalam hal ini adalah Suku Jawa,  tak bermaksud mengunggulkan yang satu untuk kemudian mengerdilkan yang lainnya. Haram bagi saya menilai baik buruk hanya melihat dari mana dia “terlahir”.  Kata “terlahir” inilah cara mudah menyimpulkan bahwa setiap manusia tidak punya pilihan kala pertama kali menghirup nafas di bumi. Sudah Given Katanya. Kiranya punya pilihan barangkali tidak ada varians warna kulit, bentuk rambut, bentuk hidung, dan bentuk bibir. Bagi yang mengidolakan Rani Mukhrejee tentu memilih terlahir dari rahim orang tua berkebangsaan India, Arab, atau Pakistan. Bagi mereka yang mengidolakan Nicolas Cage tentu berharap terlahir dari orang tua asal Eropa. Meski untuk bisa mendapatkan mata biru-nya, berharap terdapat “kontaminasi  gen dari orang Eropa timur yang rata-rata biru warna matanya. Bagi yang mengidolakan Wong Fei Hung (Yang benrama islamnya Fais Husein Wong) berharap dilahirkan oleh orang Tionghoa, Jepang, ataupun Korea.
Pertanyaannya kenapa ndak dipaparkan bagaimana yang berharap terlahir dengan kecantikannya seperti Ratu Kalinyamat atau Raden Ayu Diyah pitaloka (Putri Prabu Linggabuana dari Padjajaran dan tentu yang bukan anggota DPR-RI). Bukan lantaran saya tidak pernah melihat videonya atau lukisannya. Ini tidak dilakukan lebih karena takut tulisan penuh dengan thema seperti itu.
                Satu karakter suku jawa yang menonjol adalah dari aspek linguistik. Bahasa jawa diketahui memiliki frekuensi yang cenderung sedikit yang terlihat dari tempo bicaranya cenderung lambat. Karenanya bahasanya tak cocok digunakan untuk memarahi orang yang membutuhkan kalimat yang cepat dan berulang kali. Kemudian dari aspek amplitudo juga cenderung rendah. Ini bisa ditandai dengan intonasi dialek jawa cenderung datar dan tidak terlalu ekstrim. Untuk membedakannya Anda bisa membandingkan dengan Bahasa India atau Arab yang cenderung cepat frekuensinya dan besar Amplitudonya.
                Sebegitu unik karakter Bahasa Jawa hingga kalau dipakai untuk dubbing film-film Holywood,  menjadikan alur film tersebut “berubah”. Bagaimana tidak berubah, wong, saat adegan bedebat yang seharusnya ekspresi aktor dan aktris tegang, sementara bahasanya ber-intonasi rendah dan ber-frekuensinya lambat. Film dengan thema kekerasan sekalipun,  ketika di-dubbing dengan Bahasa Jawa akan menjadi tak elok. Karenanya alangkah indahnya, seandainya bahasa Jawa di-jadikan bahasa internasional. Ini akan akan menjadi “instrumen” perdamaian yang mujarab (berandai tentu tak apalah).
Sebegitu uniknya Bahasa Jawa, bahkan-konon sekiranya film-film “Blue” menggunakan Dubbing Bahasa Jawa akan menjadi “tawar” ke-“blue”-annya. Bagaimana tidak? Apa jadinya jika kata “oh Yes” dan “oh No” diganti dengan kata “oh Nggih” dan “oh Mboten”. Apa ndak aneh? Apa perlu frekuensi pengucapan dua kata itu dipercepat biar selaras dengan suasananya? Bukannya tambah “saru” sebaliknya malah tambah “lucu” (jangan dipraktikan menonton nanti saya berdosa karenanya).
Sifat Njawani Bea Cukai dalam konteks santun dan sopan sebagaimana Bahasa Jawa, sangat “kentara” kala menghadapi hal-hal yang terkait dengan remunerasi. Dulu, kala reformasi digelindingkan terdapat beberapa pilar yang diajukan: Organisasi, SDM, Sisdur, dan Remunerasi. Untuk meng-goal-kan remunerasi langkah yang pertama dilakukan adalah membuat grading masing-masing Jabatan. Bahkan sampai level staf di masing-masing unit. Piagam kontrak kinerja diberikan sebagai target kinerja tahunan. Namun demikian belum sampai selesai program itu dilakukan, proyek remunerasi tersebut telah diimplementasikan pada eseleon satu lain. Menanggapi hal ini jajaran Bea Cukai berkomentar bijak,”Ndak apa-apa program kita diimplementasikan ditempat lain. Sama sama Kemenkeu
                Lebih diperjelas lagi sifat Njawani Bea dan Cukai terkait dengan insentif cukai. Jujur saja saya sebenarnya enggan membicarakan masalah ini. Barangkali karena sudah terlalu lama dibicarakan sejak 2008. Meski pasal yang menjadi dasar sudah sangat jelas dalam UU Nomor 39 Tahun 2007. Jalan menuju terselesainya tata laksana lika-likunya luar biasa. Alhamdulillah sempat cair di tahun 2015. Karena kalau sampai belum terealisasikan, bisa jadi ada satu pasal di UU nomor 39 tahun 2007 yang bakal tak terlaksanakan sampai UU tersebut diamandemen lagi. Yang lebih spesial lagi jika hal itu bukanlah hal yang terlalu dipermasalahkan oleh aparat fungsional pemeriksa. Apa karena tak jelas makna pasalnya atau barangkali terkait letak pasalnya yang terlalu terakhir atau bisa jadi tulisannya. Sampai ada yang berseloroh mengomentari masalah ini,”Jangan jangan ketika membaca ketentuan tentang insentif cukai dalam buku undang undang cukai, tulisanya tiba tiba menjadi putih semua sehingga tidak kebaca.” lho siapa tahu. Karena setahu saya pada buku undang undang cukai kompilasi hanya ada dua warna: warna hitam yang tak berubah dan warna biru yang di amandemen. Setahu saya tak ada satu pasal pun tulisannya berwarna putih. (meski yakin konteksnya bercanda, saya hanya mengambil deskripsi bagaimana suasana dati menunggu dan mengharap)
Apalagi selama periode terakhir ini temuan aparat fungsional di bidang ini luar biasa. Dan sangat detail materinya. Sudah beruntun sifatnya dan massif skalanya. Aparat fungsional pemeriksa “Bertubi-tubi-tubi-tubi” (lebay saya kelihatan disini karena geregetan) adalah hal yang terkait tanda lunas cukai. Sekiranya ada satu solusi yang direkomendasikan dan itu menyelesaikan, bahkan kiranya “bumi berguncang” akan dijalankan. (lebay kedua saya kelihatan karena keputus-asaan) Bahkan sekiranya ada satu instansi yang berani dan bersedia menangani ini, maka kalau boleh meminjam ungkapan senior saya,”Permohonan diajukan sekarang, kemarin telah kami setujui dan ditandatangani“ (lebay saya yang terakhir pasti karena beban).
                Maaf, bukan dalam konteks memandang sikap Njawani dalam persoalan yang saya tulis dia atas itu sebuah cela atau kekurangan. Kebetulan persoalannya yang disikapi berdampak pada internal Bea Cukai yang dengan sifat semi-militernya masih bisa ditanggulangi. Tak ada kata lain selain kata “Siap” kala diperintah dan diputuskan. Akan menjadi persoalan ketika itu tidak diubah dalam menghadapi per-“politik”-an birokrasi. Perebutan kewenangan misalnya. (Masih ingat theori “anak nakal” yang saya tulis di tulisan sebelum ini)
                Yang paling mutakhir adalah terkait kewenangan patroli laut. Adanya Badan Keamanan Laut (BAKMLA) adalah contoh. Benar bahwa,-mengambil kata Presiden jokowi,”Kita telah terlalu lama memunggungi Laut” Perlu upaya yang sistemik agal maritim kita berjaya. Hanya format pelaksanaannya jangan sampai menggilas praktik-praktik yang sudah berjalan. Terlebih praktik itu telah terlegitimasi konvensi internasional. Satu permasalahan yang sedang menjadi tarik ulur adalah kewenangan patroli laut yang mana BAKAMLA akan mengkoordinasikan seluruh instansinya. Perlu detail mekanisme kewenangan dan SOP bagaimana menangani seluruh aktifitas di laut dimana ada puluhan undang-undang yang dijalankan berbagai instansi Kementrian. Jangan sampai prinsip dasar yang telah berjalan dan disepakati seluruh negara (UNCLOS) dimana Hanya Customs, Imigrasi, dan Karantina yang berhak menaiki kapal bendera asing yang memasuki wilayah suatu negara, menjadi ter-abai karena menjalankan undang undang yang sebenarnya berniat baik.
                Santun dan sopan (Njawani) tentu harus diterapkan dalam berdiplomasi ditengah perpolitikan birokrasi. Hanya ketika menyangkut hal yang prinsip teknis terkait kewenangan Bea dan cukai dan melalui pengalaman Bea Cukai yang panjang telah dapat memperkirakan adanya kecenderungan lebih mengedepankan egosentris institusi atau juga menjauh dari “kelaziman internasional”, maka perlu disampaikan secara lugas dan cerdas. Saya tak akan mengambil analog bahasa agama,”Qoola Haqqu Walau Kaana Murran” atau meski pahit tetap katakan!. Karena jika itu yang dipakai kaitannya syurga dan neraka kalau di qiyas-kan tetaplah bisa. Saya hanya menyarankan ada masanya menggunakan cara “Batak yang lugas dan jelas. Ada caranya menggunakan Bahasa “Padang” atau “Atjeh” yang irit kata tapi jelas.  Atau kalau sudah yakin benar tapi tetep dipaksa mengurangi kewenangan yang telah ada, pakai saja gaya Bawor Banyumasan,”Rika adol enyong sing tuku
***
Jakarta, 20 Desember 2015

7 Dec 2015

BUKAN DJBC GABUNG KE DJP MELAINKAN DJP-LAH BERGABUNG KE DJBC


BUKAN DJBC GABUNG KE DJP
MELAINKAN DJP-LAH BERGABUNG KE DJBC
Oleh: Sunaryo


Dalam catatan sejarah per-cukai-an, selama kurun 2004-2014 hanya sekali target cukai tak tercapai yaitu tahun 2006. Dari target Rp38,5 triliun DJBC hanya dapat mencapai Rp37,5 triliun. Meski saya punya catatan dari bulan ke bulan faktor yang menjadikan kenapa target ndak tercapai, sepertinya tak elok memaparkan. Satu hikmah yang paling nyata yang saya simpulkan,”Kadang montir mobil lebih efektif menyelesaikan mobil ngadat dari seorang insinyur mesin sekalipun” Dan anda boleh tak setuju dengan pendapat saya.
Seputar target cukai, ada pertanyaan yang acap kali terlontar mana kala membahasnya,”Seberapapun target cukainya, DJBC bisa merealisasikannya”. Atau terdapat juga,”Target disodorkan DJBC, angka yang relatif mudah” atau yang lebih sarkastis,”Masih ada yang disembunyikan dan ada yang masih main-main
Untuk yang terakhir tadi saya punya pendapat. Memang suatu opini idealnya ditandingi dengan opini. Hanya ketika ruang serta waktu tak cukup luas untuk duduk bersama sang pembuat opini, apalagi dibumbui embel-embel ungkapan hiperbolik akan menjadikan negeri ini jatuh-lah atau apapun-lah, maka terkait ungkapan ”target cukai masih ada yang dsimpan”, kesimpulan yang didapatkan tak ada selain “benar-benaran”. Boro boro solusi menyelesaikan, sebaliknya yang ada justru menaburkan keresahan.
Saya membatasi diri terkait pengetahuan di luar cukai khususnya bidang pengawasan dan inteleijen yang barangkali berkembang di “luar sana”. Ini mengingat tugas dan fungsi saya menangani kebijakan teknis bidang cukai hasil tembakau. Di tulisan sebelum ini di www.sunaryo.hasiltembakau.blogspot.com secara tersurat saya memaparkan menangani persoalan dibidang cukai dengan kebijakan cukai itu keniscayaan. Tapi menuntasakan persoalan diluar ranah cukai dengan kebijakan cukai, maka akan menemui kesulitan. Minimal adjustment yang dilakukan butuh “energi lebih” untuk membenarkan. Data data seolah menjauh untuk mengatakan “itu adalah significant” dan kebijakan yang akan dilakukan memang demikian.
Oleh karenanya dalam kesempatan ini kami berbagi mengenai bagaimana menangani target cukai. Sebagai informasi menurut perkiraan kami, pada tahun 2015 realisasi penerimaan cukai akan “paling hijau” diantara semua target penerimaan perpajakan di tahun 2015 (so rise your hand and say,”allahumma amiin”)
Ada tiga sumber penerimaan yang menjadi sumber penerimaan cukai. Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Hasil Tembakau. Direktorat Cukai me-manage kebijakan ketiga sumber tersebut. Sekali lagi hanya tiga jenis barang. Berbeda dengan “Saudara Tua” DJBC yang mencakup semua barang. Hanya yang dikecualikan yang tidak dikenai perpajakan.
Dari aspek produksi tentu banyak keterbatasan untuk diandalkan sebagai instrumen pencapaian target cukai,  karena membiarkan tumbuh sebebasnya menyalahi filosofis undang undang cukai itu sendiri. Tak tepat mengandalkan dari aspek itu. Oleh karenanya digunakanlan instrumen tarif yang di-update hampir setiap tahun. Itu instrumen yang utama. Karena dengan instrumen itu dua kepentingan cukai bisa di-handle: regulerend dan budgetair
Kebijakan administratif yang semi-tarif pun banyak dijalankan oleh DJBC yang barangkali jika melihat sekilas regulasinya akan tak terlihat dampaknya. Peraturan menteri keuangan yang mengatur hubungan keterkaitan adalah satu kebijakan yang tujuannya membentengi terjadinya tax-avoidance. Dengan segala perhelatannya dan kesulitannya DJBC berhasil menjalankan kebijakan ini. Meski riak-riak di-PTUN-kan dan dengan menang-kalahnya, DJBC gagah berani menjalankan peraturan itu. Dan dibandingkan dengan “Saudara Tua” yang memiliki ketentuan yang lebih kuat yakni dalam undang undang perpajakan yang mengatur “Hubungan Istimewa”, pada sektor pertembakauan, DJBC lebih kentara dalam mengeksekusi.
Menelaah kenapa DJBC yang bermodal Permenkeu lebih “greng” dalam menjalankan ketentuan hubungan keterkaitan barangkali karena melihat,-katanya,”Secara historis memang DJBC beda dengan DJP”. Kalau pungutan perpajakan ketika jaman kekaisaran dahulu kala adalah semacam “upeti” kepada kaisar atau raja.  Oleh karenanya diminta atau tidak (pasif), “upeti” akan datang sendiri. Sementara kalau Pungutan Pabean dan Cukai adalah sebagaimana pungutan “Mandor Pelabuhan” atau “Mandor Pasar” yang menjalankan pungutan dengan extra-effort-nya. Ada unsur aktif di pungutan Pabean dan Cukai. Wajar meski hanya bermodal Permenkeu saja banyak pungutan negara di tangan DJBC bisa berjalan dengan baik. Bahkan ada yang berseloroh kiranya Undang-Undang Pajak yang menjalankan DJBC  bisa jadi akan lebih efektif. Minimal bagian penindakannya. Dan ada yang menimpali,”Bukan DJBC gabung ke DJP melainkan DJP-lah bergabung ke DJBC”. (Sekedar pendapat yang bisa diperdebatkan)
Untuk tahun 2015 ada satu kebijakan non tarif yang juga diimplentasikan oleh DJBC. Penundaan pembayaran cukai untuk yang biasanya dapat melewati akhir tahun, pada tahun 2015 maka harus dilunasi cukainya pada bulan desember 2015. Kebijakan ini adalah pertama di laksanakan dalam sejarah per-cukaian selama kurun 70 tahun Indonesia merdeka. Dengan kebijakan ini pemerintah pada tahun 2015 mendapatkan penerimaan cukai sebanyak 14 bulan. Meski dengan segala kesulitannya, kebijakan ini sampai sejauh ini diperkirakan secara keseluruhan akan berjalan dengan baik. Tidak hanya pemerintah yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini. Sektor perbankan,  juga paling diuntungkan. Karena pada bulan Desember setiap tahunan setidaknya ada kredit hampir Rp38 triliun dengan jatuh tempo 2 bulan. (anda boleh mencari pembanding apakah ada sektor lain yang)
Dan pada akhirnya, manakala semua upaya telah terlaksana, tinggal menunggu hasilnya. Semua keringat telah tumpah dan tinggal menunggu realisasinya. Hari demi hari penerimaan kami “tally”. Satu demi satu CK-1 kami kalkulasi. Minggu demi minggu hari CK-5 kami tunggu. Dan semua energi telah kami curahkan hanya demi “nongkrongi” angka-angka ini. Numerik Satu (1) Empat (4) Lima (5) praktis ter-pateri ditidur kami (Rp145 triliun target cukai 2015).
Oleh karenanya jika ada hasil sebuah kinerja ada sebuah konsekuensi itu wajar (seperti Dirjen Pajak mengundurkan diri). Kemudian sebuah kinerja diikuti apresiasi itu juga wajar. Tapi kalau ada sebuah kinerja yang bagus malah dicurigai? Sepertinya dua jawaban dengan menggunakan kata “wajar” adalah tak tepat. Meski kalau itu terjadi, sebagai Bea Cukai saya pun akan berkata,”Siap....!” Hanya dengan segala energi yang saya miliki akan saya tutup bibir dengan satu jari. Saya tahan semua kata yang akan keluar dari mulut saya.
Yang menjadi sulit adalah bagaimana mengendalikan di bawah yang setiap hari njagain pabrik ketika ada respon kurang sesuai diharapkan seperti,”Masih banyak yang disimpan” atau “Itu masih bisa lebih tinggi.” Saya akan kesulitan menutup bibir mereka agar tidak muncul ungkapan kata berakhiran “...Jar” yang lain yang tentunya konotasi negatif.  
Sekedar pembanding, Plt. Dirjen Pajak meski penerimaan perpajakan jauh dari memuaskan, en-toh masih berani menyatakan,”Gaji tetep naik” meski menggunakan alibi Pegawai Pemda DKI. Tentu tak elok untuk bidang cukai yang kinerjanya insya-Allah lebih baik dari DJP, yang didapatkan komentar seperti di atas. Semoga semua berawal dari kekhawatiran saya. Meski kalau melihat perjalanan cukai, banyak kekhawatiran saya yang pada akhirnya menjadi kenyataan. Anda pingin tahu? Banyak buka blog saya. Satu per satu saya buka di edisi mendatang.

Jakarta, Desember 2015

21 Sept 2015

SATU ANGSA SEJUTA YANG PUNYA



ROKOK: SATU ANGSA SEJUTA YANG PUNYA
Oleh: Sunaryo *

Dulu, ada yang mem-“personifikasikan” sumbang sih sektor industri rokok sebagai sumber penerimaan APBN sebagaimana seekor Angsa Emas. Di kala si empunya tak bisa menuai padi atau palawiija lantaran terserang hama wereng atau serangga lainnya, Sang Angsa berinisiatif bertelur emas. Inisiatif ini menjadikan wajah sumringah Sang Empunya. Demikian kala Sang Empunya sangat perlu biaya besar buat keperluan anaknya yang sakit.  Sang Angsa cukup dibisiki,”Saya lagi butuh biaya”. Tak Lama Sang Angsa bertelur lebih banyak dari biasanya. Pendek kata begitu Sang Empunya butuh uang, lalu tinggal diusap atau di perintah Sang Angsa untuk bertelor.

Situasi yang demikian berulang hingga menjadikan Sang Empunya lalai dengan keniscayaan bahwa Sang Angsa juga perlu mendapat kesempatan “rehat”. Sang empunya lupa kalau Sang Angsa juga butuh energi untuk bertelor. Perlakuan juga kadang mulai berlebihan karena Sang Angsa tak punya kebebasan menarik lawan jenis untuk berkembang biak. Bahkan untuk sekedar memperlihatkan kecantikan bulu Angsanya yang putih.
Banyak tawaran dan saran kepada Sang Empunya bagaimana mengelola Sang Angsa dengan baik agar lebih produktif bertelor. Pertama datang pihak yang tak percaya jika Angsa butuh “rehat” untuk bertelor. Dia memastikan, maaf,-“Bokong” Sang Angsa masih tersimpat telor-telor emas yang enggan ditelorkan. Oleh karenanya perlu di paksa agar telor dikeluarkan dari perutnya. Jika di-“usap” tak mempan,  di-“bentak” tak mempan, maka “cekik”-lah lehernya.  Pasti akan keluar telornya. Barang kali benar jika di “cekik” sekali Sang Angsa akan keluar telor. Tapi apakah di “cekik” kedua atau ketiga tetap bertelor juga? Apalagi tanpa jeda. Masih untung kalau masih ada yang keluar meski barangkali bukan telor emas. Dan itu masih untung. Kalau Sebaliknya, menjadikan Sang Angsa Lemas?
Yang lainnya menyarankan berbeda. Sarannya agar Sang Angsa dirawat dengan baik. Di beri pakan yang bergisi dan diberi kebebasan berkembang biak seluas luasnya. Bahkan jika perlu dibuatkan kandang yang indah dan menarik agar Sang Angsa betah. Bahkan dibawa ke tempat tidur Sang Empunya juga ndak masalah sepanjang mau bertelor Emas. Sampai lupa kalau Angsa Tetap Angsa yang bulunya meski putih tetapi tetap unggas yang memiliki kutu di bulunya.
Dari berbagai pihak tersebut ada satu pihak yang tetap memelihara proporsionalitas bahwa Angsa tetaplah Angsa. Yaitu burung air berukuran besar dari genus Cygnus famili Anatidae. Angsa bukanlah bebek yang lebih suka ditempat comberan.  Pemeliharannya tidak boleh dicampur adukan seperti memelihara Bebek. Memang telornya besar dan menarik dari telor bebek. Namun demikian tidak bisa diharapkan seperti Bebek freuensi bertelornya.
                Komparasi di atas menurut penulis relevan untuk Industri Rokok dalam perjalanannya adalah kontributor APBN yang sangat penting. Penyumbang 8%-10% dari total penerimaan perpajakan atau 1%-2% dari PDB nasional ini seperti Angsa emas yang diharapkan terus berkontribusi terhadap APBN Indonesia. Sebagai Sang Empunya, Indonesia dalam tahap awalnya hanya berharap Sang Angsa bertelor Emas secara rutin setiap tahun. Dan praktiknya telor emas ini yaitu cukai rokok dari tahun ke tahun senantiasa berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Target tahunan selalu meningkat nominalnya dan secara umum tercapai. Beberapa kali kala pemerintah indonesia sedang butuh penerimaan mendadak, Cukai rokok dapat memenuhi harapannya. Tercatat di tahun 2000-2002 ada beberapa kali kebijakan dalam satu tahun. Ini adalah analog dari Sang empunya yang ketika kesulitan keuangan maka cukai rokok bisa menjadi alternatif penyelesaian. Bahkan sepanjang penulis menekuni bidang ini, ada satu momen dimana keuangan negara pada bulan Januari hampir nihil. Satu satuya bidang yang siap menambal penerimaan di bulan Januari sehingga gaji pegawai negeri terbayarkan dengan negara tidak menghutang, adalah cukai rokok. Kejadian ini tak banyak yang tahu . Bahkan pihak-pihak yang “membenci” sektor ini pun tak tahu kalau gaji yang dimakan pada bulan itu dan tahun itu berasal dari yang dia benci.
                Kini dikala ekonomi Dunia sedang suram, Enonomi Indonesia juga temaram, negara butuh banyak penerimaan,  target cukai dibuat sangat Curam. Penulis menganalogkan situasi ini dengan situasi dimana Sang Angsa tak lagi segemuk dua atau tiga tahun lalu. Bahkan maaf,-bokong-nya sudah tak semontok tahun-tahun sebelumnya sebagai indikasi banyaknya telor didalamnya. Padahal sudah tahu kalau bulu Sang Angsa sudah tak indah akibat banyaknya regulasi yang mengikat seperti PP Nomor 109 Tahun 2012  yang melarang kemasan rokok berpenampilan menarik. Sang Angsa juga sudah tak bisa berkembang biak akibat PMK 78/PMK.011/2013 karena konsenkuensi tarif cukai yang sama dengan induknya jika memiliki keterkiatan variabel tertentu.
                Masih belum cukup dengan itu. Terdapat pihak yang secara tiba tiba mencekik Sang Angsa untuk mendapat telor emas tersendiri. Hal ini nampak dengan munculnya regulasi Pajak Rokok melalui UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengenaan sepihak yang sifatnya “On Top” atas cukai telah diberlakukan tahun 2014. Padahal ketentuan yang sama dengan maksud yang sama telah ada dalam Pasal 36A UU Nomor 39 Tahun 2007.
Sebentar lagi jika Dewan Perwakilan Rakyat dengan hak inisiatifnya jika berhasil menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang Undang Tentang Pertembakauan, akan makin komplit regulasi yang mengatur tentang rokok. Semakin banyak pihak yang merasa berhak dan berwenang atas bidang ini. Dampaknya akan semakin banyak regulasi yang mengatur dan tentunya semakin rigid aturan yang dikeluarkannya. Yang pasti akan semakin banyak tumpang tindih kewenangannya.
Adalah tantangan tersendiri bagi penulis ditempatkan di bidang ini. Dengan tekanan dan tuntutan serta isu yang berbeda berharap target yang diemban bisa dicapai septimal mungkin. Langkah yang pertama adalah mendudukan semua isu sesuai dengan porsinya. Jika itu dalam ranah cukai maka kebijakan cukai adalah solusinya. Jika ditataran praktis, maka kebijakan implementasi itu obatnya. Jika pengawasan adalah pemicunya, maka penyidikan dan punishment itu “pedang”-nya. Campur aduk penyelesaian permasalahan bidang ini akan membawa karakter cukai secara keilmuan sebagai cabang pajak tak langsung yang “khas”, menjadi redup atau sumir. Dan kebijakan yang senantiasa tak mengakar dari khasanan per-cukaian ibarat arsitek membangun rumah tanpa melihat rancang bangun awal.  Sangat kelihatan bahwa bangunan itu tak menyatu dengan asalnya.
Pada Akhirnya berharap penulis agar Sang Angsa ini masih bertelor emas secara optimal. Kalau tidak tahun 2015 smoga tahun 2016 dan seterusnya. Iya benar Sang Angsa menarik. Betul Sang Angsa bisa di suruh dan diminta nbertelor. Tapi janganlah dibentak apalagi di “cekik”. Karena khawatir Sang Angsa terbang ke rumah Tetangga yang lebih perhatian.
***
        Jakarta, 21 September 2015

29 Apr 2015

KARENA CUKAI DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN (Bagian 2)



KARENA CUKAI DILEPASKAN DAN BUKAN DIPERTAHANKAN
(Bagian 2)
Oleh: Sunaryo*



Pertanyaan yang muncul manakala anda membaca tulisan pertama adalah: apa sih yang melandasi alasan DJBC tidak mempertahankan?

Mari penulis membuka berbagai kejadian yang menjadikan penulis memberanikan open di media pribadi ini. Kekurang care-an terhadap bidang ini menjadikan banyak kebijakan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan undang undang.

Yang Pertama terkait ekstensifikasi cukai. Kebijakan ini pada akhirnya terlepas dari bea dan cukai. Kalau ada orang yang paling “mengen”,-bahasa inggris banyumas-an, adalah penulis. Pertama secara Undang undang jelas dalam Pasal 3B UU Nomor 39 tahun 2007,“segala sesuatu yang terkait dengan barang kena cukai maka pelaksanaannya ada dalam kewenangan DJBC.”

Maaf kalau dalam undang Undang cukai, singkatan DJBC itu adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bukan sebegaimana sekarang ketika batu akik merebak: Dibelain Jualan Batu Cincin (DJBC)

Oleh karenanya apapun yang terkait pengaturan barang kena cukai termasuk besaran tarif pun dan penambahannya itu DJBC. Tapi kembali. Ada istilah arab,”kalamul malik, malikul kalam” bahasa indonesianya, “omongan raja adalah rajanya omongan Dengan demikian ketika perintah Ekstensifikasi diserahkan ke Institusi lain maka penulis ya Oks saja. Menjadi garis kebijakan pimpinan. Nyatanya?

Mari kami sampaikan sekelumit bagaimana upaya temen temen yang berkutat di bidang cukai dalam menyusun strategi ekstensifikasi. Semua perangkat hukum semua pasal dalam UU cukai sudah disiapkan sekiranya barang yang direkomendasi diajukan. Dari 13 calon barang kena cukai yang dibahas tersaring menjadi tiga barang. Cara menyaringnya itu ilmiah. Kalau bahasa metodologi yang sering dipapai anak anak bikin skripsi atau thesis: menggunakan skala lingkert terus diboboti dari semua aspek yang menjadi pertimbangan.

Tersaringlah tiga jenis barang: emisi mobil, permata, dan minuman bersoda. Lalu diserahkan semua kajian lengkap tersebut sampai dengan sistem tarif dan struktur tarif serta potensi cukai yang ada. Komplit tinggal bungkus Ibarat makanan. Ibarat mau perang tinggal maju dan mari bertarung. Semua senjata telah lengkap. Anda mau nanya apa semua tersedia. Mau alasan kesehatan kajian John Hopkins University tentang minuman bersoda sudah ada. Dari kemenkes juga ada tahun 2008.

Mau alasan kontraksi ekonomi? Ajak saja pengamat ekonomi yang hebat ke Robayan di Jepara ketika Bea Cukai kudus menutup pabrik. Atau ke Kepajen di Malang Selatan biar berhadapan dengan ribuan santri yang kerjanya dzikir dan ngelinting rokok. Gak usah pakai stempel ilmiah rumit rumit apalagi masalah ngomong makro ekonomi. Didepan mata dah nampak.

Senior saya bercerita ketika Australia Customs mengrkitisi penyelendupan tembakau australia dari Madura. Untungnya senior saya ini ndak silau dengan bule bermata biru atau berambut pirang hingga tahu tak semuanya omongan bule itu hebat. Lalu ia mengajaknya Douane Australia itu ke salah satu sentra tembakau di Madura. Diajaknya keliling desa itu dan komentar yang disampaikan satu,” This is a matter of livelihoodSelesai! Ndak berteori banyak dia.

Adalah jelas efeknya  menutup pabrik di sentra industri rokok dari pada nutup pabrik soda di satu kabupaten. Efek politis barang kali iya. Oleh karenanya “kegetunan” penulis “lempar” dalam bentuk opini dengan judul Menggali Potensi Ekstensifikasi Cukai (Harian KONTAN 4 September 2014).

Bagaimana tidak “getun” Semua kajian sudah diserahkan. Komplit tapi ketika di DPR menanyakan tetep saja larinya ke DJBC. Dan penulis pun yang kelimpungan mencari file kajian, slide dan hitungan potensi atas ekstensifikasi itu. Catat baik baik siapaun yang menagani bidang ini (BKF atau DJP nantinya)  hendaknya lebih dari yang ditangani DJBC. Kalau mengulang dan menambah sedikit, buang saja jargon reformasi atau apapun namanya. Kalau hanya menngganti baju atau judul saja tak menambah substansi, alangkah menyedihkan situasi ini. Kita tentu tak mau meniru instansi yang mengganti kata LAKIP menjadi LAKIN mengganti LHKPN menjadi LHKASN. Substansi sama tapi ndak menambah manfaat. Ngrepotin administrasi iya.

Berikutnya yang mendasari bahwa cukai tidak dipertahankan adalah terkait dengan sosialisasi dan kajiannya seperti apa. Penulis  tak pernah melihat dan mendengar kajian manfaat dan mudharat (bahasa masjid) atau plus minus kalau ini diserahkan disana. Formal yang ada itu ndak pernah tersosialisasikan. Siapa yang nangani pengawasan dilapangan. Penegahannya siapa dan pemungutnya siapa kantor cukai di jawa bagaimana. Asas superioritas pasal 3B UU Cukai bagaimana. Apakah nanti mutasi semua pegawai cukai ke DJP (ketika saya sounding tema ini kebanyakan bersorak...). Namun biasanya kalau ada kebijakan yang saling tarik ulur maka DJBC kebagian yang repot (maaf tak saya perpanjang dan saya ndak mbahas tukin. Bukan bidang saya).

Saya mengamati sedari dulu. Mari isntropeksi diri. Masalah PP kesehatan tentang rokok, saat inhi baru mulai dipelajari aparat lain. Penegakan masalah PHW ujungnya DJBC yang ketiban sampur: suruh cabut izin pabrik dan cabut izin penetapan tarif (mereka hanya berkoar kita perang di depan).  Masalah pajak rokok. Kita mungut luar biasa repot begitu insentif pemungutan kita ditinggal. Pemda yang dapat...(saya kalau mau mbahas pajak rokok takut tertawa geli melihat ada kebijakan seperti hebat yang pada akhir nya DJBC yang memungut dengan gagah berani)

Ada anekdot di kalangan temen temen yang menangani bidang cukai kala melihat perhelatan bagaimana DJBC selalu kalah (mengalah kayaknya tidak). Namanya theori anak nakal. Ketika dalam satu keluarga membagi warisan maka biasanya yang menang adalah anak nakal. Diatur bagaimana pun anak nakal yang menang. Pembagiannya boleh sama rata besarnya. Tapi tetap saja dapat sejengkal tanah di depan jalan karena alasan Dia sudah membuat warung disana.

 Kita membuat kesepakatan berbagai peraturan begitu diajukan di level tertinggi peraturan itu diubah kadang ditambah dan kadang tak dibahas di rapat berikutnya. Atau lembaran materi yang berubah tak dibahas. Begitu sampai menteri baru ribut,”kenapa DJBC menolak” dan kembali kalau sudah dari atas demikian akhirnya,”jalankan!

Sebagai prajurit tentu cuma satu kata,”Siap komandan” Kalau sudah demikian yang melegakan di hati kami satu kata,”Karena DJBC anak baik baik penurut dan sendiko dawuh” Anak baik nurut dan bontot. Masih belum cukup,”Kolokan lagi...  Kalau yang terakhir itu nyindir penulis...he he he.

Ini tulisan pribadi dan saya siap berdiskusi bertukar pikiran dan berdebat tentang opini ini. Jangan lupa sediakan secangkir kopi. Maklum kebiasan di Atjeh...
***
*Penulis Pemerhati Cukai