12 Sept 2014

ATURAN CUKAI ROKOK YANG SARAT BEBAN



ATURAN CUKAI ROKOK YANG SARAT BEBAN
Oleh: Sunaryo*

 (Harian KONTAN 15 Agustus 2014)




Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai (UU Cukai) diatur tentang tujuan dikenakan cukai atas suatu barang yaitu untuk mengendalikan konsumsi. Ketentuan ini diimplementasikan tidak hanya dari aspek tarif cukai saja. Pengaturannya mulai sebelum memproduksi rokok, saat memproduksi rokok, dan bagaimana rokok diedarkan. Sebelum memproduksi, pengusaha pabrik wajib mengajukan Izin yang biasa disebut NPPBKC (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai). Saat memproduksi diatur antara lain larangan dan kewajiban dalam memproduksi rokok. Untuk pemasarannya diatur perihal jumlah batang per bungkusnya dan adanya kewajiban mencantumkan beberapa aturan antara lain menulis jenis rokoknya, nama dan alamat pabrik. Pengaturan pengaturan yang ada semuanya dalam kerangka fiskal.


Dari aspek tersebut, memang kebijakan tarif cukai rokok adalah yang paling banyak disoroti dan dikeluhkan oleh penggiat anti rokok.  Keluhan itu meliputi besaran tarif dan harga banderolnya yang masih rendah dan kemudian variasi harga banderol yang tinggi. Sebagaimana diketahui rokok terendah adalah Rp3000 per bungkus sedang tertinggi adalah Rp14000. Rentang variasi ini memungkinkan konsumen berganti pilihan ke harga yang terjangkau. Para Penggiat anti rokok senantiasa memamerkan ke berbagai forum atas fakta ini sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah dengan kesehatan bahkan mengatakan pemerintah membela pabrik rokok.


Sebenarnya Upaya Pemerintah dalam hal ini Kementrian Keuangan mengendalikan konsumsi sudah sangat serius bahkan kalau boleh melihat secara detail, pemerintah cenderung “Kejam”. Tahun 2003-2005 adalah puncak keemasan industri ini ditandai dengan jumlah pabrik mencapai 6000 pabrik. Barang kali karena persyaratan pun cukup mudah dan cara pembuatannya juga sederhana. Situasi ini menginspirasi disusun Roadmap Industri Hasil tembakau. Roadmap ini disusun Kementrian Keuangan, Perindustrian, Perdagangan, Pertanian, dan stake holder lainnya. Dengan mendasarkan Roadmap itu, Kementrian Keuangan yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Bea Cukai) membuat aturan berupa penambahan persayaratan luas minimum satu pabrik. Dengan PMK 200/PMK.04/2008 luas satu pabrik dibatasi menjadi minimun 200 meter persegi. Disamping melalui persyaratan administrasi Bea Cukai juga mengintensifkan pengawasan di pabrik maupun di peredaran. Alhasil kebijakan ini berhasil memangkas jumlah pabrik dari sekitar 6.000 pabrik sampai sekarang tinggal sekitar 1.500 pabrik (turun 75.3%). Namun demikian keberhasilan pengendalian ini tak pernah dilihat sama sekali oleh mereka yang bergerak di bidang anti rokok. 


Upaya pengendalian pemerintah dari aspket tarif cukai rokok juga sangat signifikan perubahannya dari tahun ke tahun. Jika hanya melihat lampiran peraturan menteri keuangan (PMK), kenaikan tarif cukai rokok hanya dalam kisaran 5%-10% setiap tahunnya. Namun jika melihat format kebijakan secara detail, kenaikan cukai rokok bisa mencapai 30%-40%. Format kebijakan yang dilakukan dalam bentuk, pertama adanya penyederhanaan golongan pabrik. 


Pemerintah menggolongkan pabrik rokok menjadi tiga golongan berdasarkan jumlah produksi pertahun. Golongan I adalah pabrik yang memproduksi lebih dari 2 miliar batang. Golongan II adalah lebih dari 500 juta batang hingga 2 miliar batang. Dan Golongan III adalah mereka yang produksi sampai dengan 500 juta batang. Itu berlaku untuk masing masing jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Total ada 9 (sembilan) layer dari ketiga jenis rokok tersebut. Pemerintah menggabungkan menggabungkan Golongan III dan II jenis SKM dan SPM sebagai upaya penyederhanaan. Kedua,  adanya perubahan batasan produksi maksimum pabrik golongan III dari semula 500 juta batang turun menjadi 400 juta kemudian turun kembali hanya menjadi 300 juta batang (PMK 167/PMK.011/2011). Akibat kebijakan ini kurang lebih 20 (dua puluh) mengalami kenaikan 30%-40%.


Terobosan yang paling fundamental adalah tentang pengaturan pabrik yang memiliki keterkaitan (mirip hubungan istimewa perpajakan) antara pabrik lainnya dari aspek manajemen, permodalan, dan bahan baku. Pabrik yang memiliki hubungan keterkaitan disamaakan tarif cukai rokoknya. Ketentuan ini adalah terobosan “berani” di bidang cukai mengingat secara karakteristik cukai berbeda dengan perpajakan. Di Perpajakan hubungan istimewa diatur karena ada kemungkinan transaksi under value antara pihak yang memiliki hubungan istimewa. Ini bisa menjadi modus pelarian pajak. Berbeda dengan pungutan cukai dimana pembeda tarifnya lebih disebabkan karakter jenis barangnya seperti kadar alkohol dalam minuman atau jenis rokoknya. 


Berbagai langkah pemerintah tersebut di atas tak pernah dilihat apalagi dikutip oleh mereka yang anti rokok sebagai upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok. Padahal dampak yang dilakukan pemerintah telah sangat jelas berdampak jelas dengan turunnya jumlah pabrik.  Dan Kementrian keuangan senantiasa mensosialisasikan kebijakannya. 


Menarik jika membandingkan kebijakan tarif cukai negara lain yang tidak sekompleks Indonesia. Dalam sebuah seminar anti rokok penulis menemui Senator Meksiko. Kebijakan menaikan cukai rokok sebesar 30% di Negeri Sombreno itu, dan itu dijadikan “kembang lambe” oleh seluruh peserta seminar. Hujan tepuk tangan diberikan sebagai bentuk keberhasilan pengendalian rokok. Penulis menanyakan berapa pabrik yang terkena dampak dari kebijakan itu ?  ternyata hanya dua pabrik dan semuanya pabrik multinasional: British American Tobacco (BAT) dan Philip Morish. Uniknya apresiasi peserta seminar luar biasa. Padahal disana kontribusi ke tenaga kerja di sektor rokok tidak signifikan. 


Kesempatan lain penulis bertanya pada Direktur WHO tentang posisi suatu negara,”Lebih baik meratifikasi FCTC tapi tak melakukan apa-apa atau tidak meratifikasi FCTC tapi melakukan banyak hal ?” Direktur WHO itu tak memberi jawaban jelas maksudnyajelas. Demikian juga terkait kewajiban Pictorial  Health Warning (PHW) dalam kemasan rokok sementara di Geneva, Swiss tak perlu ada. Sang Pejabat WHO justru menjawab,”Negara kami negara maju. semua rumah sakit VIP, penduduk mendapat jaminan  kesehatan. Apa negara anda bisa seeperti kami?” Mengejutkan ketika jawaban yang disampaikan adalah sepertu itu bahkan cenderung seperti mencari alasan. 


Tentunya kita tak berharap penggiat antir rokok dalam melihat permasalahan rokok ini tidak menutup sebelah mata. Fakta sektor ini menyumbang secara langsung tenaga kerja kurang lebih 600 ribu harus dilihat proporsional. Belum lagi tenaga kerja tak langsung. Pelaku usahanya juga banyak majemuk baik dari aspek permodalan, kapastias produksi, dan kemampuan bersaing. Dan Kebijakan tarif cukai rokok senantiasa mempertimbangkan situasi ini setiap tahunnya. Jika salah me-manage maka bersiaplah. Sudah menunggu investor asing seperti Japan Tobacco dan China Tobacco menunggu “kelelahan” para pengusaha pabrik merespon kebijakan pemerintah di sektor ini: Cukai, Pajak Rokok, Dana Bagi Hasil Cukai, dan Peraturan dibidang Kesehatan. Jangan sampai upaya para penggiat anti rokok malah mempermudah penjualan pabrik rokok ke asing. Dulu pernah ada istilah dari “Sastro ke Castro”.  “Sastro” mewakili dalam negeri dan “Castro” dari Kata “Fidel Castro” mewakili luar negeri. Rokok kita yang membuatnya  tapi keuntungan ke negara lain. 
***

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Izin pak, saya pikir berkurangnya jumlah pabrik rokok (sebagian besar pabrik SKT) lebih karena pergeseran konsumsi masyarakat yang lebih menyukai jenis SKM. Sedangkan kebijakan tarif cukai tidak berpengaruh banyak. Apalagi dalam mengurangi jumlah konsumsi rokok yang dari tahun ke tahun terus meningkat jauh di atas 260 juta sebagaimana target roadmap IHT.

    ReplyDelete
  3. Ada beberapa hal yang perlu dicermati: Konsumsi Rokok SKT kecil itu tetep ada sepanjang diproduksi. Kedua SKM dan SKT meski bisa saling mensubstitusi tapi tak segampang itu. Karena Taste-nya beda. dan dirasakan benar bnagi bagi pencinta SKT. (saya pernah mensyurvei bentuk rokok skt (conthong) itu menambah taste berbeda. Makanya Merek terkenal (2*4) meski dia bisa efisiensi dg mesin kalau disuruh pakai mesin dia ndak mau. bahkan merek SKM dengan merek (2*4) juga ndak begitu laku kaya SKT-nya. begitu Mas. Efek kebijakan simplifikasi baik tarif maupun golongan itu paling dominan.

    ReplyDelete