Oleh:
Sunaryo*
(Harian KONTAN 15 Agustus 2014)
Dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai (UU Cukai) diatur tentang
tujuan dikenakan cukai atas suatu barang yaitu untuk mengendalikan konsumsi.
Ketentuan ini diimplementasikan tidak hanya dari aspek tarif cukai saja.
Pengaturannya mulai sebelum memproduksi rokok, saat memproduksi rokok, dan
bagaimana rokok diedarkan. Sebelum memproduksi, pengusaha pabrik wajib mengajukan
Izin yang biasa disebut NPPBKC (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai). Saat
memproduksi diatur antara lain larangan dan kewajiban dalam memproduksi rokok. Untuk
pemasarannya diatur perihal jumlah batang per bungkusnya dan adanya kewajiban
mencantumkan beberapa aturan antara lain menulis jenis rokoknya, nama dan alamat
pabrik. Pengaturan pengaturan yang ada semuanya dalam kerangka fiskal.
Dari aspek
tersebut, memang kebijakan tarif cukai rokok adalah yang paling banyak disoroti
dan dikeluhkan oleh penggiat anti rokok. Keluhan itu meliputi besaran tarif dan harga
banderolnya yang masih rendah dan kemudian variasi harga banderol yang tinggi.
Sebagaimana diketahui rokok terendah adalah Rp3000 per bungkus sedang tertinggi
adalah Rp14000. Rentang variasi ini memungkinkan konsumen berganti pilihan ke
harga yang terjangkau. Para Penggiat anti rokok senantiasa memamerkan ke
berbagai forum atas fakta ini sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah dengan
kesehatan bahkan mengatakan pemerintah membela pabrik rokok.
Sebenarnya
Upaya Pemerintah dalam hal ini Kementrian Keuangan mengendalikan konsumsi sudah
sangat serius bahkan kalau boleh melihat secara detail, pemerintah cenderung
“Kejam”. Tahun 2003-2005 adalah puncak keemasan industri ini ditandai dengan
jumlah pabrik mencapai 6000 pabrik. Barang kali karena persyaratan pun cukup
mudah dan cara pembuatannya juga sederhana. Situasi ini menginspirasi disusun Roadmap
Industri Hasil tembakau. Roadmap ini disusun Kementrian Keuangan, Perindustrian,
Perdagangan, Pertanian, dan stake holder lainnya. Dengan mendasarkan Roadmap itu,
Kementrian Keuangan yang dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Bea
Cukai) membuat aturan berupa penambahan persayaratan luas minimum satu pabrik. Dengan
PMK 200/PMK.04/2008 luas satu pabrik dibatasi menjadi minimun 200 meter persegi.
Disamping melalui persyaratan administrasi Bea Cukai juga mengintensifkan
pengawasan di pabrik maupun di peredaran. Alhasil kebijakan ini berhasil memangkas
jumlah pabrik dari sekitar 6.000 pabrik sampai sekarang tinggal sekitar 1.500 pabrik
(turun 75.3%). Namun demikian keberhasilan pengendalian ini tak pernah dilihat
sama sekali oleh mereka yang bergerak di bidang anti rokok.
Upaya
pengendalian pemerintah dari aspket tarif cukai rokok juga sangat signifikan
perubahannya dari tahun ke tahun. Jika hanya melihat lampiran peraturan menteri
keuangan (PMK), kenaikan tarif cukai rokok hanya dalam kisaran 5%-10% setiap
tahunnya. Namun jika melihat format kebijakan secara detail, kenaikan cukai rokok
bisa mencapai 30%-40%. Format kebijakan yang dilakukan dalam bentuk, pertama
adanya penyederhanaan golongan pabrik.
Pemerintah
menggolongkan pabrik rokok menjadi tiga golongan berdasarkan jumlah produksi
pertahun. Golongan I adalah pabrik yang memproduksi lebih dari 2 miliar batang.
Golongan II adalah lebih dari 500 juta batang hingga 2 miliar batang. Dan
Golongan III adalah mereka yang produksi sampai dengan 500 juta batang. Itu
berlaku untuk masing masing jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih
Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Total ada 9 (sembilan) layer dari ketiga jenis rokok tersebut. Pemerintah
menggabungkan menggabungkan Golongan III dan II jenis SKM dan SPM sebagai upaya
penyederhanaan. Kedua, adanya perubahan
batasan produksi maksimum pabrik golongan III dari semula 500 juta batang turun
menjadi 400 juta kemudian turun kembali hanya menjadi 300 juta batang (PMK 167/PMK.011/2011).
Akibat kebijakan ini kurang lebih 20 (dua puluh) mengalami kenaikan 30%-40%.
Terobosan
yang paling fundamental adalah tentang pengaturan pabrik yang memiliki
keterkaitan (mirip hubungan istimewa perpajakan) antara pabrik lainnya dari
aspek manajemen, permodalan, dan bahan baku. Pabrik yang memiliki hubungan
keterkaitan disamaakan tarif cukai rokoknya. Ketentuan ini adalah terobosan
“berani” di bidang cukai mengingat secara karakteristik cukai berbeda dengan
perpajakan. Di Perpajakan hubungan istimewa diatur karena ada kemungkinan transaksi
under value antara pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Ini bisa menjadi modus pelarian pajak. Berbeda
dengan pungutan cukai dimana pembeda tarifnya lebih disebabkan karakter jenis
barangnya seperti kadar alkohol dalam minuman atau jenis rokoknya.
Berbagai
langkah pemerintah tersebut di atas tak pernah dilihat apalagi dikutip oleh
mereka yang anti rokok sebagai upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi
rokok. Padahal dampak yang dilakukan pemerintah telah sangat jelas berdampak
jelas dengan turunnya jumlah pabrik. Dan
Kementrian keuangan senantiasa mensosialisasikan kebijakannya.
Menarik jika
membandingkan kebijakan tarif cukai negara lain yang tidak sekompleks
Indonesia. Dalam sebuah seminar anti rokok penulis menemui Senator Meksiko.
Kebijakan menaikan cukai rokok sebesar 30% di Negeri Sombreno itu, dan itu
dijadikan “kembang lambe” oleh
seluruh peserta seminar. Hujan tepuk tangan diberikan sebagai bentuk
keberhasilan pengendalian rokok. Penulis menanyakan berapa pabrik yang terkena
dampak dari kebijakan itu ? ternyata
hanya dua pabrik dan semuanya pabrik multinasional: British American Tobacco
(BAT) dan Philip Morish. Uniknya apresiasi peserta seminar luar biasa. Padahal
disana kontribusi ke tenaga kerja di sektor rokok tidak signifikan.
Kesempatan
lain penulis bertanya pada Direktur WHO tentang posisi suatu negara,”Lebih baik
meratifikasi FCTC tapi tak melakukan apa-apa atau tidak meratifikasi FCTC tapi
melakukan banyak hal ?” Direktur WHO itu tak memberi jawaban jelas maksudnyajelas.
Demikian juga terkait kewajiban Pictorial Health Warning (PHW) dalam kemasan rokok sementara
di Geneva, Swiss tak perlu ada. Sang Pejabat WHO justru menjawab,”Negara kami
negara maju. semua rumah sakit VIP, penduduk mendapat jaminan kesehatan. Apa negara anda bisa seeperti
kami?” Mengejutkan ketika jawaban yang disampaikan adalah sepertu itu bahkan
cenderung seperti mencari alasan.
Tentunya
kita tak berharap penggiat antir rokok dalam melihat permasalahan rokok ini
tidak menutup sebelah mata. Fakta sektor ini menyumbang secara langsung tenaga
kerja kurang lebih 600 ribu harus dilihat proporsional. Belum lagi tenaga kerja
tak langsung. Pelaku usahanya juga banyak majemuk baik dari aspek permodalan,
kapastias produksi, dan kemampuan bersaing. Dan Kebijakan tarif cukai rokok
senantiasa mempertimbangkan situasi ini setiap tahunnya. Jika salah me-manage maka bersiaplah. Sudah menunggu investor
asing seperti Japan Tobacco dan China Tobacco menunggu “kelelahan” para
pengusaha pabrik merespon kebijakan pemerintah di sektor ini: Cukai, Pajak
Rokok, Dana Bagi Hasil Cukai, dan Peraturan dibidang Kesehatan. Jangan sampai
upaya para penggiat anti rokok malah mempermudah penjualan pabrik rokok ke
asing. Dulu pernah ada istilah dari “Sastro ke Castro”. “Sastro” mewakili dalam negeri dan “Castro”
dari Kata “Fidel Castro” mewakili luar negeri. Rokok kita yang membuatnya tapi keuntungan ke negara lain.
***
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteIzin pak, saya pikir berkurangnya jumlah pabrik rokok (sebagian besar pabrik SKT) lebih karena pergeseran konsumsi masyarakat yang lebih menyukai jenis SKM. Sedangkan kebijakan tarif cukai tidak berpengaruh banyak. Apalagi dalam mengurangi jumlah konsumsi rokok yang dari tahun ke tahun terus meningkat jauh di atas 260 juta sebagaimana target roadmap IHT.
ReplyDeleteAda beberapa hal yang perlu dicermati: Konsumsi Rokok SKT kecil itu tetep ada sepanjang diproduksi. Kedua SKM dan SKT meski bisa saling mensubstitusi tapi tak segampang itu. Karena Taste-nya beda. dan dirasakan benar bnagi bagi pencinta SKT. (saya pernah mensyurvei bentuk rokok skt (conthong) itu menambah taste berbeda. Makanya Merek terkenal (2*4) meski dia bisa efisiensi dg mesin kalau disuruh pakai mesin dia ndak mau. bahkan merek SKM dengan merek (2*4) juga ndak begitu laku kaya SKT-nya. begitu Mas. Efek kebijakan simplifikasi baik tarif maupun golongan itu paling dominan.
ReplyDelete