7 Jun 2016

  • MENJAUHKAN STIGMA CUKAI DARI PAJAK DOSA
  • Oleh Sunaryo*



Bahwa pungutan cukai identik dengan pajak “dosa” atau sin tax memang tertulis dalam literatur cukai. Karena adanya  eksternalitas (externalities) barang yang dikenakan cukai, pungutan ini dilabeli sin tax. Perlu fiscal tools untuk mengendalikan konsumsi barang dimaksud agar tidak berlebihan.
Label sin tax ini juga menjadi faktor utama yang menghambat usulan penambahan objek cukai baru. Memang jika dikenakan tambahan beban tarif 5%-10%, pengusaha akan keberatan. Tetapi, lebih berat lagi jika produknya terkena label “pajak dosa”. Mereka khawatir disamakan perlakuannya dengan barang kena cukai saat ini, seperti minuman keras.
Di berbagai negara, jenis barang kena cukai sangat variatif dan jumlahnya relatif banyak. Indonesia pernah mengenakan cukai atas bahan bakar minyak (minyak tanah) dan juga gula. Pada UU No. 11 Tahun 1995, kedua pungutan cukai tersebut dicabut. Alasannya, gula sangat dibutuhkan dalam pengembangan industri pengolahan makanan dan minuman, sementara pasokan dalam negeri kurang.
Yang menarik, setelah lama cukai BBM dihapus, tiba tiba muncul gagasan pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) dari Kementerian ESDM. Alasannya paralel dengan filosofis cukai, yakni perlu pengendalian BBM untuk pengembangan energi terbarukan.
Mengenakan dan melepaskan pungutan cukai sebenarnya tidak tabu di beberapa nagara. Per 1 Januari 2015. Hungaria mengenakan cukai atas makanan ringan (snack tax). Azerbaijan mengenakan pungutan cukai platinum, emas, dan permata. Sementara itu,  Thailand tiga tahun lalu melepaskan pungutan cukai Spa untuk kembali menarik wisatawan. 
Di Finlandia minuman berkarbonasi, susu, margarin, permadani, arloji, tiket pesawat, bahkan asuransi dan travel dikenakan cukai. Prancis mengenakan cukai atas minuman berkarbonasi, kopi, gula, kosmetik, parfum, dan asuransi. Jepang memungut cukai atas minuman berkarbonasi, biji coklat, gula, dan juga permadani. Singapura memungut cukai atas gula, televisi, radio, listrik, gas, air, telepon, serta rekening hotel.

Barang-barang di atas sangat jauh dari sifat barang kena cukai yang kita kenakan, yakni jauh dari kesan pungutan sebagai pajak dosa. Semua pihak, baik ekonom, pelaku usaha, dan semua yang berkepentingan, harus membuka mata atas paradigma ini. Kejadian atas gagalnya pungutan cukai minuman berkarbonasi akibat sinergi antar kementrian di atas tidak berjalan. Barang yang sudah menjadi target untuk dikendalikan berdasarkan program Sustainable Development Goals (SDGs) ditolak oleh kementerian yang secara tugas dan fungsi seharusnya mendukung program SDGs.

Sinergi kementerian
Kita selalu saja menyoroti beban pungutan ketika pungutan cukai atas suatu barang direkomendasikan. Padahal cukai tidak semata-mata membahas itu. Terdapat pengaturan fasilitas pembebasan dan tidak dipungut cukai. Para pengamat sering melupakan bahwa cukai juga juga instrumen fiskal. Menteri Keuangan berwenang penuh mengatur seluas luasnya sesuai Pasal 8 dan Pasal 9 UU 39 Tahun 2007. Jika plastik kemasan minuman disetujui dikenakan cukai dalam APBN-P 2016, akan banyak relaksasi regulasi fiskal yang berbeda dengan rokok atau minuman keras.
Aspek lainnya yang menguntungkan pengusaha juga perlu dipertimbangkan. Hanya cukai instrumen fiskal yang secara komprehensif dapat mengontrol dari hulu hingga hilir. Bagi pengusaha, terdapat manfaat karena mengurangi kemungkinan pemalsuan produk. Pengawasannya juga secara aktif tanpa harus menunggu laporan pemilik produk.
Melihat berbagai aspek di atas menjadi semakin jelas bahwa pengenaan cukai tidak selalu equal sebagai pajak dosa. Oleh karenanya menjadi ironi jika sebagian suatu barang di sebagian besar negara lain dikenakan, kenapa kita mempertentangkan? Semua kementerian perlu duduk bersama bersinergi terkait ekstensifikasi cukai. Janganlah penolakan dari sebuah kementerian menjadi semacam semacam “hak veto” atas usulan ekstensifikasi cukai.

Benar akan ada kontraksi ekonomi jika pungutan cukai baru atas suatu barang dikenakan. Inflasi juga terpengaruh karena adanya tambahan beban di biaya perusahaan yang akan sampai ke konsumen. Tapi, seberapa besar  dampaknya tentu bisa dihitung bersama agar target inflasi APBN tak terlampaui. Tak ada kesulitan dalam hal ini kecuali memang semua usulan ekstensifikasi cukai dikondisikan tidak berjalan.

***

      *Penulis adalah Kasubdit Tarif Cukai Bea Cukai



21 Jan 2016

Dana Ketahanan Energi dan Infrastruktur Cukai

Oleh: Sunaryo*


Harian KONTAN 18 Januari 2016
Pro kontra pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) mewarnai media di akhir tahun 2015. Dasarnya adalah pasal 30 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79/2014 sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 30/2007. Meski akhirnya diputuskan ditunda oleh pemerintah, wacana DKE masih menyisakan perdebatan dasar hukumnya. Apa “wadah” yang lebih tepat dari pungutan DKE?
Untuk mengarahkan “wadah” yang paling tepat,pertama harus dilihat tujuan pungutan itu sendiri, yaitu untuk membangun prasarana energi baru dan terbarukan. Ada share beban dari konsumen BBM terhadap pengelolaan infrastruktur produksi BBM. Ini tertuang dalam Pasal 48 dan 49 UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang dikategorikan sebagai Pungutan Penerimaan Bukan Pajak (PNBP). Oleh karenanya, jika ada pungutan tambahan yang dibebankan pada konsumen BBM, akan terjadi dualisme pungutan dengan tujuan yang sama. Ini melanggar prinsip pungutan negara secara umum (semacam double taxation).
Mekanisme paling tepat untuk membiayai infrastruktur energi baru dan terbarukan adalah mekanisme earmarking. Contohnya adalah Pajak Kendaraan Bermotor yang 10% wajib dialokasikan untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana transportasi umum. Begitu pula pungutan Pajak Rokok yang 50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan untuk pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.
Apakah DKE ini perlu dimasukan dalam UU No 30/2007 tentang Energi? Sepertinya sangat perlu penafsiran yang lebih untuk memungut DKE. Sebab, UU tersebut tidak eksplisit tertulis menambah pungutan baru. Hal yang sala juga jika menggunakan Pasal 30 PP No 79/2014.
Melihat tujuan pungutan dan tahapan yang diperlukan untuk merealisasikan DKE, “wadah” paling tepat yaitu cukai. Pertama, dari aspek filosofis, BBM termasuk barang yang perlu dikendalikan konsumsinya. Pengendalian konsumsi adalah salah satu “roh” pungutan cukai. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, bahkan India, pungutan cukai BBM (gasoline/fuel tax) lazim dikenakan. Bahkan dari literature cukai, BBM dikenakan cukai satu keniscayaan. Karenanya,best practice pungutan cukai sudah tidak perlu dicari reasoning-nya.
Resistensi pungutan
Dari segi perangkat teknis hukum, pungutan cukai BBM relatif paling lengkap dibandingkan regulasi lainnya untuk DKE. Penetapan objeknya cukup menggunakan Peraturan Pemerintah. Hal ini secara tegas tertulis dalam Pasal 2 UU No. 11 Th. 2007. Penambahan atau pengurangan jenisBarang Kena Cukai diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Apakah pungutan cukai ini tidak akan mengurangi tujuan pemerintah mengurangi tujuan pemerintah meringankan beban masyarakat? Jawabannya tentu tidak. Terdapat fleksibilitas pungutan cukai, yakni bisa dibebaskan sesuai tujuan konsumsinya. Menteri Keuangan sangat fleksibel menetapkan. Saat ini yang telah berjalan dan menyerupai DKE yakni pungutan etil alkohol (etanol). Etanol dalam praktik pungutan cukai lebih banyak untuk industri (pembebasan etil alkohol).
Karenanya jika kendaraan angkutan umum dibebaskan pungutan BBM ini sangat memungkinkan. Demikian juga untuk kepentingan industri lainnya. Bahkan untuk masyarakat miskin pun,Menteri Keuangan bisa saja membebaskannya. Dengan jalur distribusi BBM dari hulu ke hilir yang sudah tertata, pemberian fasilitas pembebasan cukai bisa dikontrol.
Satu tantangan yang harus diselesaikan adalah kepentingan politis BBM yang menjadi ramah legislatif. Di sektor BBM, kendala politis lebih menyulitkan dari kendala teknis. Selama ini, rencana kenaikan harga BBM begitu menyita energi luar biasa. Hampir semua alasan dikerahkan para politikus untuk tidak setuju. Situasi saat harga minyak mentah dunia sedang turun (Per 8 Januari 2016 hanya US$ 33,55 per barel) akan mengurangi resistensi pungutan cukai BBM.
Pada akhirnya semua tergantung political will baik eksekutif maupun legislatif. Secara teoritis, sebenarnya sangat memungkinkan DKE dialihkan ke pungutan cukai. Secara practice, praktik ini sudah tersedia perangkat hukumnya, secara best practice juga telah dijalankan di negara-negara maju. Secara ekonomi global juga sangat memungkinkan dijalankan. Tinggal bagaimana menjinakkan para penentang kebijakan.
***