Dana Ketahanan Energi dan Infrastruktur Cukai
Oleh: Sunaryo*
Harian KONTAN 18 Januari 2016 |
Untuk
mengarahkan “wadah” yang paling tepat,pertama harus
dilihat tujuan pungutan itu sendiri, yaitu untuk membangun prasarana energi
baru dan terbarukan. Ada share beban
dari konsumen BBM terhadap pengelolaan infrastruktur produksi
BBM. Ini tertuang dalam Pasal 48 dan 49 UU No 22/2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (Migas) yang dikategorikan sebagai Pungutan Penerimaan Bukan Pajak
(PNBP). Oleh karenanya, jika ada pungutan tambahan yang dibebankan pada
konsumen BBM, akan terjadi dualisme pungutan dengan tujuan yang sama. Ini
melanggar prinsip pungutan negara secara umum (semacam double taxation).
Mekanisme
paling tepat untuk membiayai infrastruktur energi baru dan terbarukan adalah
mekanisme earmarking. Contohnya adalah Pajak
Kendaraan Bermotor yang 10% wajib dialokasikan untuk
pemeliharaan dan pembangunan jalan, serta peningkatan sarana transportasi umum.
Begitu pula pungutan Pajak
Rokok yang 50% dari penerimaan pajak rokok dialokasikan
untuk pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.
Apakah DKE ini
perlu dimasukan dalam UU No 30/2007 tentang Energi? Sepertinya sangat perlu
penafsiran yang lebih untuk memungut DKE. Sebab, UU tersebut tidak eksplisit
tertulis menambah pungutan baru. Hal yang sala juga jika menggunakan Pasal 30
PP No 79/2014.
Melihat
tujuan pungutan dan tahapan yang diperlukan untuk merealisasikan DKE, “wadah”
paling tepat yaitu cukai. Pertama, dari
aspek filosofis, BBM termasuk barang yang perlu dikendalikan konsumsinya.
Pengendalian konsumsi adalah salah satu “roh” pungutan cukai. Di negara maju
seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, bahkan India ,
pungutan cukai BBM (gasoline/fuel tax) lazim
dikenakan. Bahkan dari literature cukai, BBM dikenakan cukai satu keniscayaan.
Karenanya,best practice pungutan cukai
sudah tidak perlu dicari reasoning-nya.
Resistensi pungutan
Dari
segi perangkat teknis hukum, pungutan cukai BBM relatif paling lengkap
dibandingkan regulasi lainnya untuk DKE. Penetapan objeknya cukup menggunakan Peraturan
Pemerintah . Hal ini secara tegas tertulis dalam Pasal 2 UU No.
11 Th. 2007. Penambahan atau pengurangan jenisBarang
Kena Cukai diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Apakah pungutan
cukai ini tidak akan mengurangi tujuan pemerintah mengurangi tujuan pemerintah
meringankan beban masyarakat? Jawabannya tentu tidak. Terdapat fleksibilitas
pungutan cukai, yakni bisa dibebaskan sesuai tujuan konsumsinya. Menteri
Keuangan sangat fleksibel menetapkan. Saat ini yang telah berjalan dan
menyerupai DKE yakni pungutan etil alkohol (etanol). Etanol dalam praktik
pungutan cukai lebih banyak untuk industri (pembebasan etil alkohol).
Karenanya
jika kendaraan angkutan umum dibebaskan pungutan BBM ini sangat memungkinkan.
Demikian juga untuk kepentingan industri lainnya. Bahkan untuk masyarakat
miskin pun,Menteri
Keuangan bisa saja membebaskannya. Dengan jalur distribusi
BBM dari hulu ke hilir yang sudah tertata, pemberian fasilitas pembebasan cukai
bisa dikontrol.
Satu tantangan
yang harus diselesaikan adalah kepentingan politis BBM yang menjadi ramah
legislatif. Di sektor BBM, kendala politis lebih menyulitkan dari kendala
teknis. Selama ini, rencana kenaikan harga BBM begitu menyita energi luar
biasa. Hampir semua alasan dikerahkan para politikus untuk tidak setuju.
Situasi saat harga minyak mentah dunia sedang turun (Per 8 Januari 2016 hanya
US$ 33,55 per barel) akan mengurangi resistensi pungutan cukai BBM.
Pada
akhirnya semua tergantung political will baik
eksekutif maupun legislatif. Secara teoritis, sebenarnya sangat memungkinkan
DKE dialihkan ke pungutan cukai. Secara practice,
praktik ini sudah tersedia perangkat hukumnya, secara best practice juga telah dijalankan di
negara-negara maju. Secara ekonomi global juga sangat memungkinkan dijalankan.
Tinggal bagaimana menjinakkan para penentang kebijakan.
***