21 Sept 2015

SATU ANGSA SEJUTA YANG PUNYA



ROKOK: SATU ANGSA SEJUTA YANG PUNYA
Oleh: Sunaryo *

Dulu, ada yang mem-“personifikasikan” sumbang sih sektor industri rokok sebagai sumber penerimaan APBN sebagaimana seekor Angsa Emas. Di kala si empunya tak bisa menuai padi atau palawiija lantaran terserang hama wereng atau serangga lainnya, Sang Angsa berinisiatif bertelur emas. Inisiatif ini menjadikan wajah sumringah Sang Empunya. Demikian kala Sang Empunya sangat perlu biaya besar buat keperluan anaknya yang sakit.  Sang Angsa cukup dibisiki,”Saya lagi butuh biaya”. Tak Lama Sang Angsa bertelur lebih banyak dari biasanya. Pendek kata begitu Sang Empunya butuh uang, lalu tinggal diusap atau di perintah Sang Angsa untuk bertelor.

Situasi yang demikian berulang hingga menjadikan Sang Empunya lalai dengan keniscayaan bahwa Sang Angsa juga perlu mendapat kesempatan “rehat”. Sang empunya lupa kalau Sang Angsa juga butuh energi untuk bertelor. Perlakuan juga kadang mulai berlebihan karena Sang Angsa tak punya kebebasan menarik lawan jenis untuk berkembang biak. Bahkan untuk sekedar memperlihatkan kecantikan bulu Angsanya yang putih.
Banyak tawaran dan saran kepada Sang Empunya bagaimana mengelola Sang Angsa dengan baik agar lebih produktif bertelor. Pertama datang pihak yang tak percaya jika Angsa butuh “rehat” untuk bertelor. Dia memastikan, maaf,-“Bokong” Sang Angsa masih tersimpat telor-telor emas yang enggan ditelorkan. Oleh karenanya perlu di paksa agar telor dikeluarkan dari perutnya. Jika di-“usap” tak mempan,  di-“bentak” tak mempan, maka “cekik”-lah lehernya.  Pasti akan keluar telornya. Barang kali benar jika di “cekik” sekali Sang Angsa akan keluar telor. Tapi apakah di “cekik” kedua atau ketiga tetap bertelor juga? Apalagi tanpa jeda. Masih untung kalau masih ada yang keluar meski barangkali bukan telor emas. Dan itu masih untung. Kalau Sebaliknya, menjadikan Sang Angsa Lemas?
Yang lainnya menyarankan berbeda. Sarannya agar Sang Angsa dirawat dengan baik. Di beri pakan yang bergisi dan diberi kebebasan berkembang biak seluas luasnya. Bahkan jika perlu dibuatkan kandang yang indah dan menarik agar Sang Angsa betah. Bahkan dibawa ke tempat tidur Sang Empunya juga ndak masalah sepanjang mau bertelor Emas. Sampai lupa kalau Angsa Tetap Angsa yang bulunya meski putih tetapi tetap unggas yang memiliki kutu di bulunya.
Dari berbagai pihak tersebut ada satu pihak yang tetap memelihara proporsionalitas bahwa Angsa tetaplah Angsa. Yaitu burung air berukuran besar dari genus Cygnus famili Anatidae. Angsa bukanlah bebek yang lebih suka ditempat comberan.  Pemeliharannya tidak boleh dicampur adukan seperti memelihara Bebek. Memang telornya besar dan menarik dari telor bebek. Namun demikian tidak bisa diharapkan seperti Bebek freuensi bertelornya.
                Komparasi di atas menurut penulis relevan untuk Industri Rokok dalam perjalanannya adalah kontributor APBN yang sangat penting. Penyumbang 8%-10% dari total penerimaan perpajakan atau 1%-2% dari PDB nasional ini seperti Angsa emas yang diharapkan terus berkontribusi terhadap APBN Indonesia. Sebagai Sang Empunya, Indonesia dalam tahap awalnya hanya berharap Sang Angsa bertelor Emas secara rutin setiap tahun. Dan praktiknya telor emas ini yaitu cukai rokok dari tahun ke tahun senantiasa berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Target tahunan selalu meningkat nominalnya dan secara umum tercapai. Beberapa kali kala pemerintah indonesia sedang butuh penerimaan mendadak, Cukai rokok dapat memenuhi harapannya. Tercatat di tahun 2000-2002 ada beberapa kali kebijakan dalam satu tahun. Ini adalah analog dari Sang empunya yang ketika kesulitan keuangan maka cukai rokok bisa menjadi alternatif penyelesaian. Bahkan sepanjang penulis menekuni bidang ini, ada satu momen dimana keuangan negara pada bulan Januari hampir nihil. Satu satuya bidang yang siap menambal penerimaan di bulan Januari sehingga gaji pegawai negeri terbayarkan dengan negara tidak menghutang, adalah cukai rokok. Kejadian ini tak banyak yang tahu . Bahkan pihak-pihak yang “membenci” sektor ini pun tak tahu kalau gaji yang dimakan pada bulan itu dan tahun itu berasal dari yang dia benci.
                Kini dikala ekonomi Dunia sedang suram, Enonomi Indonesia juga temaram, negara butuh banyak penerimaan,  target cukai dibuat sangat Curam. Penulis menganalogkan situasi ini dengan situasi dimana Sang Angsa tak lagi segemuk dua atau tiga tahun lalu. Bahkan maaf,-bokong-nya sudah tak semontok tahun-tahun sebelumnya sebagai indikasi banyaknya telor didalamnya. Padahal sudah tahu kalau bulu Sang Angsa sudah tak indah akibat banyaknya regulasi yang mengikat seperti PP Nomor 109 Tahun 2012  yang melarang kemasan rokok berpenampilan menarik. Sang Angsa juga sudah tak bisa berkembang biak akibat PMK 78/PMK.011/2013 karena konsenkuensi tarif cukai yang sama dengan induknya jika memiliki keterkiatan variabel tertentu.
                Masih belum cukup dengan itu. Terdapat pihak yang secara tiba tiba mencekik Sang Angsa untuk mendapat telor emas tersendiri. Hal ini nampak dengan munculnya regulasi Pajak Rokok melalui UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengenaan sepihak yang sifatnya “On Top” atas cukai telah diberlakukan tahun 2014. Padahal ketentuan yang sama dengan maksud yang sama telah ada dalam Pasal 36A UU Nomor 39 Tahun 2007.
Sebentar lagi jika Dewan Perwakilan Rakyat dengan hak inisiatifnya jika berhasil menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang Undang Tentang Pertembakauan, akan makin komplit regulasi yang mengatur tentang rokok. Semakin banyak pihak yang merasa berhak dan berwenang atas bidang ini. Dampaknya akan semakin banyak regulasi yang mengatur dan tentunya semakin rigid aturan yang dikeluarkannya. Yang pasti akan semakin banyak tumpang tindih kewenangannya.
Adalah tantangan tersendiri bagi penulis ditempatkan di bidang ini. Dengan tekanan dan tuntutan serta isu yang berbeda berharap target yang diemban bisa dicapai septimal mungkin. Langkah yang pertama adalah mendudukan semua isu sesuai dengan porsinya. Jika itu dalam ranah cukai maka kebijakan cukai adalah solusinya. Jika ditataran praktis, maka kebijakan implementasi itu obatnya. Jika pengawasan adalah pemicunya, maka penyidikan dan punishment itu “pedang”-nya. Campur aduk penyelesaian permasalahan bidang ini akan membawa karakter cukai secara keilmuan sebagai cabang pajak tak langsung yang “khas”, menjadi redup atau sumir. Dan kebijakan yang senantiasa tak mengakar dari khasanan per-cukaian ibarat arsitek membangun rumah tanpa melihat rancang bangun awal.  Sangat kelihatan bahwa bangunan itu tak menyatu dengan asalnya.
Pada Akhirnya berharap penulis agar Sang Angsa ini masih bertelor emas secara optimal. Kalau tidak tahun 2015 smoga tahun 2016 dan seterusnya. Iya benar Sang Angsa menarik. Betul Sang Angsa bisa di suruh dan diminta nbertelor. Tapi janganlah dibentak apalagi di “cekik”. Karena khawatir Sang Angsa terbang ke rumah Tetangga yang lebih perhatian.
***
        Jakarta, 21 September 2015