ROKOK:
SATU ANGSA SEJUTA YANG PUNYA
Oleh:
Sunaryo *
Dulu, ada yang
mem-“personifikasikan” sumbang sih sektor industri rokok sebagai sumber penerimaan
APBN sebagaimana seekor Angsa Emas. Di kala si empunya tak bisa menuai padi
atau palawiija lantaran terserang hama wereng atau serangga lainnya, Sang Angsa berinisiatif bertelur emas. Inisiatif
ini menjadikan wajah sumringah Sang Empunya. Demikian kala Sang Empunya sangat
perlu biaya besar buat keperluan anaknya yang sakit. Sang Angsa cukup dibisiki,”Saya lagi butuh biaya”. Tak Lama Sang Angsa
bertelur lebih banyak dari biasanya. Pendek kata begitu Sang Empunya butuh
uang, lalu tinggal diusap atau di perintah Sang Angsa untuk bertelor.
Situasi yang demikian berulang hingga menjadikan Sang Empunya lalai
dengan keniscayaan bahwa Sang Angsa juga perlu mendapat kesempatan “rehat”. Sang
empunya lupa kalau Sang Angsa juga butuh energi untuk bertelor. Perlakuan juga
kadang mulai berlebihan karena Sang Angsa tak punya kebebasan menarik lawan
jenis untuk berkembang biak. Bahkan untuk sekedar memperlihatkan kecantikan
bulu Angsanya yang putih.
Banyak tawaran dan saran kepada Sang Empunya bagaimana mengelola Sang
Angsa dengan baik agar lebih produktif bertelor. Pertama datang pihak yang tak
percaya jika Angsa butuh “rehat” untuk bertelor. Dia memastikan, maaf,-“Bokong”
Sang Angsa masih tersimpat telor-telor emas yang enggan ditelorkan. Oleh
karenanya perlu di paksa agar telor dikeluarkan dari perutnya. Jika di-“usap”
tak mempan, di-“bentak” tak mempan, maka
“cekik”-lah lehernya. Pasti akan keluar
telornya. Barang kali benar jika di “cekik” sekali Sang Angsa akan keluar
telor. Tapi apakah di “cekik” kedua atau ketiga tetap bertelor juga? Apalagi tanpa
jeda. Masih untung kalau masih ada yang keluar meski barangkali bukan telor
emas. Dan itu masih untung. Kalau Sebaliknya, menjadikan Sang Angsa Lemas?
Yang lainnya menyarankan berbeda. Sarannya agar Sang Angsa dirawat dengan
baik. Di beri pakan yang bergisi dan diberi kebebasan berkembang biak seluas
luasnya. Bahkan jika perlu dibuatkan kandang yang indah dan menarik agar Sang
Angsa betah. Bahkan dibawa ke tempat tidur Sang Empunya juga ndak masalah sepanjang
mau bertelor Emas. Sampai lupa kalau Angsa Tetap Angsa yang bulunya meski putih
tetapi tetap unggas yang memiliki kutu di bulunya.
Dari berbagai pihak tersebut ada satu pihak yang tetap memelihara
proporsionalitas bahwa Angsa tetaplah Angsa. Yaitu burung air berukuran besar
dari genus Cygnus famili Anatidae.
Angsa bukanlah bebek yang lebih suka ditempat comberan. Pemeliharannya tidak boleh dicampur adukan seperti
memelihara Bebek. Memang telornya besar dan menarik dari telor bebek. Namun
demikian tidak bisa diharapkan seperti Bebek freuensi bertelornya.
Komparasi di atas menurut
penulis relevan untuk Industri Rokok dalam perjalanannya adalah kontributor APBN
yang sangat penting. Penyumbang 8%-10% dari total penerimaan perpajakan atau
1%-2% dari PDB nasional ini seperti Angsa emas yang diharapkan terus
berkontribusi terhadap APBN Indonesia. Sebagai Sang Empunya, Indonesia dalam
tahap awalnya hanya berharap Sang Angsa bertelor Emas secara rutin setiap
tahun. Dan praktiknya telor emas ini yaitu cukai rokok dari tahun ke tahun
senantiasa berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Target tahunan selalu
meningkat nominalnya dan secara umum tercapai. Beberapa kali kala pemerintah
indonesia sedang butuh penerimaan mendadak, Cukai rokok dapat memenuhi
harapannya. Tercatat di tahun 2000-2002 ada beberapa kali kebijakan dalam satu
tahun. Ini adalah analog dari Sang empunya yang ketika kesulitan keuangan maka
cukai rokok bisa menjadi alternatif penyelesaian. Bahkan sepanjang penulis
menekuni bidang ini, ada satu momen dimana keuangan negara pada bulan Januari
hampir nihil. Satu satuya bidang yang siap menambal penerimaan di bulan Januari
sehingga gaji pegawai negeri terbayarkan dengan negara tidak menghutang, adalah
cukai rokok. Kejadian ini tak banyak yang tahu . Bahkan pihak-pihak yang “membenci”
sektor ini pun tak tahu kalau gaji yang dimakan pada bulan itu dan tahun itu
berasal dari yang dia benci.
Kini dikala ekonomi Dunia sedang
suram, Enonomi Indonesia juga temaram, negara butuh banyak penerimaan, target cukai dibuat sangat Curam. Penulis
menganalogkan situasi ini dengan situasi dimana Sang Angsa tak lagi segemuk dua
atau tiga tahun lalu. Bahkan maaf,-bokong-nya
sudah tak semontok tahun-tahun sebelumnya sebagai indikasi banyaknya telor
didalamnya. Padahal sudah tahu kalau bulu Sang Angsa sudah tak indah akibat banyaknya
regulasi yang mengikat seperti PP Nomor 109 Tahun 2012 yang melarang kemasan rokok berpenampilan menarik.
Sang Angsa juga sudah tak bisa berkembang biak akibat PMK 78/PMK.011/2013
karena konsenkuensi tarif cukai yang sama dengan induknya jika memiliki
keterkiatan variabel tertentu.
Masih belum cukup dengan itu.
Terdapat pihak yang secara tiba tiba mencekik Sang Angsa untuk mendapat telor
emas tersendiri. Hal ini nampak dengan munculnya regulasi Pajak Rokok melalui
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengenaan
sepihak yang sifatnya “On Top” atas
cukai telah diberlakukan tahun 2014. Padahal ketentuan yang sama dengan maksud
yang sama telah ada dalam Pasal 36A UU Nomor 39 Tahun 2007.
Sebentar lagi jika Dewan Perwakilan Rakyat dengan hak inisiatifnya jika
berhasil menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang Undang Tentang Pertembakauan,
akan makin komplit regulasi yang mengatur tentang rokok. Semakin banyak pihak
yang merasa berhak dan berwenang atas bidang ini. Dampaknya akan semakin banyak
regulasi yang mengatur dan tentunya semakin rigid aturan yang dikeluarkannya. Yang
pasti akan semakin banyak tumpang tindih kewenangannya.
Adalah tantangan tersendiri bagi penulis ditempatkan di bidang ini.
Dengan tekanan dan tuntutan serta isu yang berbeda berharap target yang diemban
bisa dicapai septimal mungkin. Langkah yang pertama adalah mendudukan semua isu
sesuai dengan porsinya. Jika itu dalam ranah cukai maka kebijakan cukai adalah
solusinya. Jika ditataran praktis, maka kebijakan implementasi itu obatnya.
Jika pengawasan adalah pemicunya, maka penyidikan dan punishment itu “pedang”-nya.
Campur aduk penyelesaian permasalahan bidang ini akan membawa karakter cukai
secara keilmuan sebagai cabang pajak tak langsung yang “khas”, menjadi redup
atau sumir. Dan kebijakan yang senantiasa tak mengakar dari khasanan
per-cukaian ibarat arsitek membangun rumah tanpa melihat rancang bangun awal. Sangat kelihatan bahwa bangunan itu tak
menyatu dengan asalnya.
Pada Akhirnya berharap penulis agar Sang Angsa ini masih bertelor emas
secara optimal. Kalau tidak tahun 2015 smoga tahun 2016 dan seterusnya. Iya
benar Sang Angsa menarik. Betul Sang Angsa bisa di suruh dan diminta nbertelor.
Tapi janganlah dibentak apalagi di “cekik”. Karena khawatir Sang Angsa terbang
ke rumah Tetangga yang lebih perhatian.
***
Jakarta, 21 September 2015