18 Mar 2013

Kebijakan Cukai Yang Fundamental


Sumber : WBC Edisi Maret 2009

Pemerintah yang dalam hal ini Departemen Keuangan telah mengelurakan kebijakan cukai yang baru melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 203/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang sangat fundamental di bidang cukai dengan pertimbangan beberapa alasan yang akan diuraikan dalam paparan di bawah ini.

Wacana Pengharaman Rokok: Mendidik Perilaku Perokok, Jangan Menekan Petani


Sumber : Majalah Perkebunan edisi Pebruari 2009

Wacana yang sedang santer soal tembakau sebaiknya lebih mengarah kepada edukasi bagi perilaku perokok daripada menggulirkan kebijakan yang dapat menekan petani dan produksi tembakau.
Demikian salah satu pokok pendapat dari Ketua Badan Pertimbangan Organisasi DPN HKTI, Siswono Yudo Husodo pada diskusi Empat Jam Bersama Pemuda Tani Indonesia dan bertajuk ”Menyikapi Kontroversi Tembakau dan Industri Ikutannya (Rokok) Secara Obyektif ”. Acara tersebut digelar di Jakarta Design Center, Tanggal 20 Januari 2009 diselenggarakan untuk mengurai benang kusut wacana pengharaman rokok oleh Majelis Ulama Indonesia belakangan ini.
Seperti halnya tembakau yang memiliki stake holder yang luas diskusi ini juga dihadiri oleh lebih dari 100 orang peserta dari berbagai kalangan, yaitu petani, pelaku usaha, pejabat pemerintah terkait, akademis, Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh agama, mahasiswa dan pers. Bersama Siswono Yudo Husodo, pemateri lainnya adalah Sunaryo, Seksi Cukai Tembakau 2 Direktorat Cukai, Ditjen. Bea dan Cukai, Departemen Keuangan RI, Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), dan K. H. Maksum, Pengasuh Ponpes Ciwaringin, Cirebon.
Paparan tentang kontribusi dan posisi strategisnya tembakau bagi petani dan pendapatan bagi negara di jabarkan oleh Siswono Yudo Husodo yang tampil sebagai pembicara pertama. Tembakau dan industri hasil ikutannya (rokok) selama ini telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap ekonomi nasional. ”Dari sisi hulu sampai hilirnya, industri tembakau atau rokok menyerap Tenaga Terlibat Langsung (TTL) sebesar 6,1 juta. Jika tiap TTL diasumsikan menghidupi 4 orang, berarti terdapat sekitar 24,4 juta jiwa yang dihidupi”, terang Siswono Yudo Husodo.

Dana Cukai Tembakau tak Sampai ke Petani


Sumber : BisnisBali (Liputan Workshop Pemuda Tani Indonesia di Gedung Jakarta Design Centre)

– Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) yang memberikan alokasi untuk pembinaan bagi petani tembakau hingga saat ini tidak sampai ke petani. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Wisnu Broto di Jakarta, mengungkapkan, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 84 tahun 2008 DBH CHT dialokasikan untuk penghasil cukai sebesar 40 persen, pemerintah propinsi 30 persen dan kabupaten 30 persen yang di dalamnya termasuk untuk pembinaan petani tembakau."Namun alokasi dana bagi hasil cukai untuk petani ini tidak digunakan untuk kegiatan yang benar-benar pembinaan petani," katanya dalam diskusi menyikapi “Kontroversi Tembakau dan Industri Ikutannya secara Objektif” yang diselenggarakan DPP Pemuda Tani Indonesia. 

Hot Hot Chicken's Feces


Sumber : WBC

Penulis mempersilahkan pembaca untuk menertawai judul tersebut. Tertawa mengejek lantaran dalam perespektif grammar amburadul, atau tertawa lucu lantaran ungkapan itu tak lazim dalam Bahasa Inggris sebagaimana halal bil halal di Arab Saudi. Yang jelas lantaran banyak fenomena di Nusantara ini yang klop dengan ungkapan-”Hangat-hangat tahi ayam”, penulis terpaksa memakai judul tersebut. Toh dalam bahasa tak ada kebenaran mutlaq. Yang ada hanya lazim dan tak lazim dengan kaidah bahasa yang disepakati. Jadi sah-sah saja kalau penulis memakainya kan? Apalagi jaman demokrasi. Yang “ngomong ngawur” saja diblow up media dan diberitakan, apalagi yang ada dasarnya! Dan penulis mempersilahkan pembaca untuk tidak setuju-apalagi setuju dengan ke-shahihan judul itu, termasuk apa yang akan penulis ungkap di media ini. Karena-sekali lagi, “Ini Demokrasi bung!”. Toh, maksud tulisan ini bukan argumentatif semata, walaupun ada bumbu statistika. Penulis hanya sekedar gendu-gendu rasa dengan sesama Bea Cukai di “gardu” Warta Bea Cukai ini.

Tahun 2009 Tarif Cukai Rokok Naik 7 Persen


Sumber : Siaran Pers di Kantor Pusat DJBC Tanggal 07/01/2009 

Mulai 1 Februari pemerintah memberlakukan tarif cukai baru yang rata-rata naik sebesar 7 persen. Kebijakan pemerintah dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 7 persen ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok dan mencapai target penerimaan cukai 2009 sebesar Rp. 48,2 triliun. Otomatis, dengan adanya kenaikan ini, maka dipastikan akan ada kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) yang besarnya tergantung dari kebijakan masing-masing produsen rokok dengan mempertimbangkan daya beli konsumen.

Sosialisasi Kenaikan HJE Dan Tarif Spesifik Cukai Hasil Tembakau


Sumber : WBC tanggal : 18-12-2006

DJBC, Di Indonesia saat ini, konsumsi rokok oleh masyarakatnya cukup tinggi, bahkan menurut WHO, Indonesia dengan jumlah jiwa sebanyak 200 juta lebih, diperkirakan sekitar 141 jiwanya adalah pengkonsumsi rokok aktif yang menghabiskan sekitar 215 milyar batang per tahunnya (Media Indonesia 11 Desember 2006).
Industri rokok memang menjadi salah satu tulang punggung baik penerimaan negara maupun penyerapan tenaga kerja. Dapat dibayangkan dengan jumlah pabrik rokok yang saat ini telah mencapai 4416 pabrik ( golongan I: 6 pabrik, golongan II: 27 pabrik, golongan III: 106 pabrik, golongan IIIA: 282 pabrik, dan sisanya adalah pabrik golongan IIIB) tentunya jumlah tenaga kerja yang diserap pun juga telah mencapai jutaan orang.
Itu dari sisi penyerapan tenaga kerja, dari sisi penerimaan negara atau yang dikenal dengan cukai hasil tembakau, rokok boleh dikatakan menjadi andalan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang tiap tahunnya selalu mengalami kenaikan bahkan melampaui dari target yang ditentukan. Untuk tahun 2006 target yang ditetapkan APBN-P sebesar Rp 38,5 triliun dan ditahun 2007 ini target cukai juga telah ditentukan dan dinaikan menjadi Rp 42,03 triliun.

Kontribusi dan Refleksi Target Cukai


Sumber : WBC Tahun 2003

Semakin tidak ideal kondisi ataupun situasi di sebuah negara, makin susah produksi hukum diterapkan! Karenanya para ahli dalam berbagai bidang disiplin ilmu senantiasa menetapkan asumsi-asumsi agar teorinya/formula dapat diterapkan dalam praktik. Dalam bidang ekonomi kita sangat hafal istilah ceteris paribus. Dalam bidang matematika dan fisika kita tahu istilah variabel konstan. Dan dengan adanya asumsi tersebut formula regresi, statistik, demand suplay, elastsitas dan sejenisnya dapat diterapkan dan kita pun terkagum kagum dengan output formula tersebut. Padahal kalau kita sadar, itu hanya di “angan-angan” yang diback up dengan asumsi-asumsi. Dan di dunia real sangat susah dipenuhi, bahkan mustahil.

Telaah Kuantitatif Kebijakan Cukai Rokok Spesifik 2007 (Tanggapan Bagi Stakeholder Yang Tak Sependapat)


Jika sekedar berpandangan revenued oriented, naik HJE rokok overall 10% maka perdebatan kebijakan cukai rokok untuk tahun 2007 tidak akan panjang. Sepertinya tak perlu-lah tim DJBC kesana kemari berpromosi dan meyakinkan ke berbagai stakeholder dengan kajian detail karena khawatir di-challenge dari berbagai aspek. Terlebih jika aspek target cukai 2007 yang Rp 42,03 triliun “insya Allah” aman tercapai, Departemen Perindustrian menerima, assosiasi industri rokok sepakat, dan tentunya Tim Tarif Departemen Keuangan,- yang baru pertama kali dilibatkan membahas kebijakan cukai 2007, dengan “enteng” menerima daripada bereksperimen dengan sistem baru yang tentunya beresiko terhadap kredibilitas eksistensi Tim Tarif,-”Begitu dilibatkan justru target cukai 2007 tidak tercapai!”.